Jumat, 18 Juni 2010

JANGAN NYROBOT………………………


(dilema santri dalam kungkungan suci pesantren)


Begitulah kira-kira penegasan yang dilontarkan tiap-tiap bagian keamanan ketika awal menjelang kepengurusan dalam sebuah pondok pesantren. Sebuah statement yang mengindikasikan bahwa budaya nyrobot telah merasuk ke hati sanubari para penghuni pondok—dalam hal ini adalah santri. Siapa pun, baik itu yang alimnya minta ampun sampai yang tipa harinya kelakukannya blingsatan, saya yakin pernah merasakan pengalaman ini. Mengendap-endap keluar pondok agar tidak ketahuan pengurus ataupun ustadz jaga, untuk sekadar dapat keluar dan menghirup angin bebas di luar pesantren. Meskipun tujuan tidak tentu arahnya, hal semacam menjadi pilihan karena, mungkin jenuh dengan situasi pondok, atau mungkin memang sudah menjadi rutinitas yang kudu segera di salurkan. Entah, kalian semua bisa menjawabnya.

Hakikat pesantren, selain sebagai wadah untuk menggembleng santi agar mendapatkan pengetahuan yang mumpuni dalam ranah agama, juga menjadi alat kontrol etika dan estetika santri agar menjadi pribadi yang “alim”, santun, penyabar, dan tidak mudah lepas kontrol. Salah satunya juga menjaga santri agar menjadi pribadi yang disiplin, salah satunya adalah meminta ijin tatkala mempunyai keinginan untuk keluar dari pesantren. Semisal pulang, bepergian, belanja keperluan dan lain sebagainya.


Budaya nyrobot selalu ada tiap tahunnya selama saya menjadi santri di salah satu pesantren populer di pinggiran Lamongan. Banyak alasan yang melatarbelakangi aktifitas ini, seperti apa yang telah saya sebutkan diatas, mungkin si santri kurang nyaman dengan kondisi lingkungan sekitar pesantren, atau memang si santri merasa tidak krasan mondok. Alasan terakhir, menurut pengamatan saya menjadi alasan paling populer masyarakat pesantren untuk menjadi landasan kenapa dia harus keluar pondok tanpa ijin.

***

Siang itu, sinar matahari begitu terik. Debu-debu beterbangan entah ke mana. Tanggalan pesantren menunjukkan tepat pada pertengahan bulan Juni. Bulan yang merupakan masa-masa menghadapi ujian di pesantren. Waktu itu saya hampir menyelesaikan studi saya di kelas dua sebauh SMP swasta yang berada satu komplek dengan pesantren yang saya diami. Berbarengan itu, sebuah perhelatan akbar empat tahunan sedang digelar. Piala Dunia 2002 Korea-Jepang. Tidak hanya di Korea dan Jepang, tapi gemuruh Piala Dunia juga menggema di antero dunia lain, tak terkecuali warga pesantren.


Menjadi begitu delematik ketika harus memilih dan memilah, Piala Dunia atau Ujian akhiru sanah? Yang pertama, ini adalah even akbar empat tahun sekali. Yang kedua, ini adalah ujian yang menentukan kemampuan kita setahun kebelakang, dan menentukan pula posisi kita setahun ke depan. Tidak pernah terbesit sedikitpun dalam benak saya untuk tinggal kelas dan sebangku dengan orang-orang baru—yang notabene adalah adik kelas. Oleh sebab itu, apapun resikonya saya memilih untuk keduanya, menyisakan waktu belajar untuk nonton bola dan menyisakan sedikit kesenangan untuk sekadar membaca buku ajar.


Piala Dunia sudah menginjak ke babab perdelapan besar, alias enambelas besar. Salah satu partai mempertemukan Jerman—yang nantinya menjadi Runner Up—melawan Paraguai—sebuah kekuatan lawas sepakbola Amerika Latin. Karena tidak ingin ketinggalam momen, maka saya dan kawan-kawan memutuskan untuk keluar pesantren melihat pertandingan ini. Alasan lain adalah, karena ujian telah habis dan tinggal menunggu pengumuman saja. Beribu alasa kami pikir untuk minta ijin, namun kemungkinan besar mustahil mendapat ijin untuk “melihat” sepak bola. Setelah beberapa saat berfikir, akhirnya kami menemukan ide. Tempo hari kami mendapat intruksi untuk mengumpulkan buku raport kepada wali kelas langsun ke rumahnya. Nah, alasan inilah yang kami jadikan senjata ampuh untuk keluar pesantren. Alhasil, kami diberi ijin meninggalkan pesantren, tentunya untuk menyerahkan raport.

Dus, setan mana yang tega-teganya merasuki kami untuk menempuh jalur salah, kami memanfaatkan momen ini untuk mampir ke salah satu teman saya dan menyepatkan diri menikmati tayangan bola di salah satu stasiun TV swasta. Sekitar 10 orang berada di rumah itu, termasuk saya.


Sebuah drama dimulai. Dari balik pintu tiba-tiba muncul sesosok yang sangat familiar bagi kami. Pengurus Pondok. “mati iki rek”, kataku dalam hati. Sekita itu, tiba-tiba muncul ide jahil. Kami semua sepakat untuk memejamkan mata dan berpura-pura tidur sambil terus mengamati keadaan sekitar. Terlihat si pengurust tadi—yang kebetulan masih famili teman yang saya kunjungi rumahnya—berkomat-kamir merapalkan sebuah hitungan. “satu, dua, tiga………………………….”, kami mendengar dia menghitung jumlah kami. Diam-diam—tapi tetap dalam pengawasan kami—si pengurus tadi pergi. Dan kami, terlihat masa bodoh dan meneruskan sisa pertandingan.


Klimaksnya, kami bersepuluh dipanggil dalam acara hukuman massal pesantren. Akibatnya adalah kami disuruh membersihkan sepuluh asrama sehari sebelum hari libur tiba.


Bagi saya, Ini adalah pengalaman pertama saya nyrobot dari pesantren. Setelah itu, beberapa kali saya nekad keluar pondok, tentunya tanpa ijin. Sering lolos, tapi beberapa kali kepergok pengurus dan ustad. Terakhir, saya berharap budaya ini tidak lagi terulangi, karena ini berhubungan dengan pencitraan sebuah lembaga pendidikan di mata masyarakat. Tapi patut diingat, bahwa dulu berbeda dengan sekarang. Budaya sandiwara radio berbeda dengan budaya Doraemon dan Power Rangers. Jadi harus ada perlakuan yang beda pula.


Tabik!!!


10.30 WIB (masih dalam suasana Piala Dunia 2010)

Kos Papringan, 18 Juni 2010

Rabu, 02 Juni 2010

AZAN


siang itu aku kembali mendengar suara azan di kampusku sekian bulan tidak pernah lagi dikumandangkan. rupanya masjid di kampusku baru saja diresmikan, dan katanya renovasi itu sampai menghabiskan dana yang tidak sedikit, 2 milyar. tidak terlalu merdu dan senatural Rakim, "Muazin di desaku", tapi itu cukup mengobati kerinduanku akan suara azan.

saya memang bukan orang yang agamis dan Islamis, tapi saya suka mendengarkan suara azan, seperti halnya saya suka mendengarkan Bang Haji bersenandung Syahdu lewat bait-bait lagunya. bagi saya suara azan tidak hanya sebagai penanda bahwa waktu salat telah tiba, tetapi azan juga (maaf) merupakan lagu pengantar tidur yang begitu indah. saya sempat marah-marah ketika mendengar orang azan sembarangan, tidak jelas panjang pendeknya, apalagi kalau salah pelafalannya.

Bilal cukup berjasa dalam perkembangan azan selama ini, dialah orang pertama--menurut versi resmi--yang mengumandangkan azan. waktu itu umat muslim bingung harus dengan apa menandai datangnya waktu salat. bunyi lonceng sempat diusulkan, tapi tidak diterima di forum, begitu halnya dengan bunyi terompet. semuanya mentah. Sampai pada akhirnya dipilihlah azan sebagai penanda mulainya waktu salat. memang, Bilal begitu garing membawakannya, tapi itu cukup untuk menasbihkan dia sebagai orang pertama yang menyenandungkan azan.

masih sangat saya ingat, waktu masih duduk di bangku madrasah ibtida'iyah, saya dan teman sering menyuarakan azan bersama-sama dalam satu waktu. saya kebagian kalimat "Allohu Akbar", teman saya dapat "Asyhadu...........", terus teman ketiga dapat bagian "Asyhadu Anna.....", pun demikian dengan teman ke empat dan kelima sampai selesai. tidak jarang kita mendapat makian dari para tetangga masjid karena mendengarkan nada azan kami yang sumbang nan mengenaskan. tapi kami menikmati itu.

sejak lulus madrasah, saya tidak pernah lagi mengumandangkan azan--terutama via microphone. pernah sekali pada awal nyantri, waktu itu dalam rangka lomba azan. mungkin gara-gara saya kalah maka saya memutuskan untuk pensiun dari kegiatan mengumandangkan azan. meskipun demikian saya masih cinta suara azan.

Dan karena bicara azan, saya jadi teringat bahwa saya belum "isya'an" padahal sudah jam setengah tiga. sebentar lagi sudah akan datang lagi azan, semoga saya masih cinta dengan suara itu nanti.