SEBUAH PERJUANGAN UNTUK KEMBALINYA KEDAULATAN INDONESIA
Mungkin judul di atas bagi kita terkesan sangat sepele. “kembali ke Jogja” seakan-akan itu adalah sebuah judul film atau sinetron. Tapi kalo kita membaca apa yang sebenarnya, itu adalah sebuah judul tulisan dari seorang tokoh nasional Indonesia, Muhammad Roem.Kembali ke Jogja adalah sebuah pledoi perihal kembalinya kekuasaan Indonesia dari tangan pemerintah colonial belanda pasca agresi militer ke-2. Jogya atau dalam hal ini adalah Yogyakarta adalah representasi dari kedaulatan Indonesia yang baru seumru jagung. Namun permasalahan sudah cukup memilukan dan membuat mengelus dada.
Tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda kembali menduduki pelbagai wilayah Indonesia, sebagai terusan dari agresi militer pertama Belanda. Peristiwa itu sangat terkenal dengan sebutan Agresi Militer ke-2 Belanda. Pelbagai alasan Pemerintah Belanda melakukan agresi ini adalah sebagai betikut; Belanda berasumsi bahwa Indonesia belum mampu mengurusi badan-badan pejaung Indonesia, selain itu adalah “anggapan” Belanda yang mengatakan bahwa Hatta telah mengingkari janji-janji yang dia ucapkan dihadapan menteri-menteri Belanda yang datang ke Yogyakarta.
Namun sangat jelas, alasan utamanya adalah upaya Belanda untuk menguasai kembali jajahan yang sempat lepas dari genggamannya. Selain itu adalah menaklukan segala perlawanan yang telah dilaksakan oleh lascar-laskar pejuang Indonesia. Seperti yang telah disinggung diawal tulisan tadi, bahwa agresi II ini bertujuan untuk meneruskan agresi I yang sempat dihentikan oleh dewan keamanan dalam resolusinya tanggal 1 Agustus 1947.
Waktu keadaan memang sangat tegang dan cukup genting. Seluruh pimpinan tertinggi sedang berada dalam masa pengasingan, tidak terkecuali Soekarno, Hatta dan bebarapa menteri pun ikut diasingkan. Ada bebapa menteri yang masih berupaya untuk meneruskan perjuangan. Pusat pemerintahan pun dipindah di bukit tinggi, dengan pejabat sementara adalah Safrudin Pramiwonegoro. Dan di Jawa terbentuk Komisariat Pemerintah dengan ketua Mr. Susanto Tirtoprodjo.
Orang-orang yang masih tersisa pun terus berusaha untuk meneruskan perjuangan dengan cara apapun. Simpati dicari dimana-mana. Dari dewan keamana sampai Negara-negara tetangga pun di coba untuk dimintai simpati. Negara-negara tetangga pun pada akhirnya banyak mengutuk tindakan yang dilakukan oleh Belanda. Reaksi pun muncul dimana-mana, salah satunya di Negara-negara Arab, Pakistan, India dan Pakistan menutup akses penerbangan untuk Belanda.
Selain itu, yang sangat menarik adalah pernyataan yang dilontarkan oleh Amerika. Biasanya Amerika selalu memposisikan dirinya sebagai Negara yang netral, namun sekarang sikapnya kelihatan lebih positif. Segera Amerika menelorkan usulan untuk melakukan sebuah resolusi damai antara Indonesia dan Belanda. Resolusi itu menuntut agar Belanda segera menghentikan semua tindakannya, dan segera mungkin menarik mundur pasukannya dari Yogyakarta.
Reaksi juga tidak berhenti sampai situ saja. Masih banyak reaksi-reaksi yang lain. Bertepatan dengan itu pula dewan keamanan sedang melakukan rapat di Paris. Ini memang momen yang harus segera dimanfaatkan oleh pihak kita, Indonesia untuk sesegera mungkin mengusir Belanda dari tanah tercinta. Dewan keamana pun pada akhirnya mengeluarkan pokok-pokok resolusi dianranya:
1. Membebaskan semua tahanan politik.
2. Mengembalikan pemerintahan RI yang dapat agar dapat berfungsi bebas di Yogyakarta dan sekitarnya.
3. Mengadakan pemerintahan federal selambat-lambatnya pada tanggal 15 Maret 1949.
4. Mengadakan pemilihan umum untuk memilih konstituante yang harus selesai pada 1 Oktober 1949.
5. Pengembalian bertahap pemerintah Indonesia di lain daerah. Ini dengan sendirinya berarti penarikan mundur yang bertahap dari pasukan Belanda.
Dalam diplomsi Indonesia memulai perundingan dengan diadakannya perjanjian Roem-Royen, yang diadakan di Yogyakarta. Royan menjelaskan dengan cermat sesuai dengan sudut pandang Belanda. Delegasi Indonesia juga tidak kalah cerdinya, dia banyak sekali menyinggung perjuangan bangsa Indonesia dari penjajahan.
Pada akhirnya perjanjian Roem-Royen sangat bermanfaat bagi pemerintahan RI. Keberhasilan perjanjian Roem-Royen patut diacungi jempol. Meskipun pada akhirnya, itu kurang mendapat sambutan hangat dari Safrudin Prawironegor, karena sebelumnya tidak meminta ijin pada PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia). Namun dia bisa memaafkan hal itu karena saat beberapa saat setelah perjanjian itu Hatta datang menemuinya di Aceh.
Safrudin mengatakan bahwa ketidakadanya konfirmasi dengan PDRI membuat PDRI tidak mempunyai prestise di depan masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu Safrudin agak kecewa. Dalam sidang cabinet ia menjelaskan bahwa PDRI tidak menentukan sikap terhadap perjanjian Roem-Royen. PDRI menyerahkan putusan pada kabinet, Badan Pekerja Nasional Pusat dan Pimpinan Angkatan Perang. Dia meneruskan bahwa akibat dari tindakan ini pada akhirnya menjadi tanggungan bersama.
Perjuangan pengembalian kekauasaan ke Yogyakarta juga tidak lepas dari usaha para laskar yang berada di pedalaman hutan. Jendral Soedirman patut dianugrahi sebagai orang sangat berjasa dalam usaha ini. Meskipun dengan kondisi kesehatan yang cukup memprihatinkan beliau masih kuat untuk memimpin laskar menyusuri hutan belantara Jawa.
Ternyata usaha tidak berakhir sia-sia. Perjuangan dan usaha berujung manis yang gilang gemilang. Perjuangan, baik dengan fisik dan diplomatic, tenyata telah berhasil memaksa Belanda untuk mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto and de jure. Mengisahkan ihwal perkalanan perjuangan laskar, pada hari-hari pertama TNI mundur keluar Ibukota untuk menduduki tempat-tempat strategis menurut rencana. TB Simatupang dalam bukunya menggunakan istilah perang rakyat untuk perlawanan ini. Istilah itu menggambarkan partisipasi seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali.
Perlawanan ini dimanfaatkan oleh laskar-laskar dari Siliwangi. Dengan meletusnya peristiwa ini, mereka bisa kembali ke posnya dan dapat meneruskan perjuangan mereka di wilayahnya yang sebelumnya telah mati dan terputus. Perjalanan laskar siliwangi digambarkan dalam sebuah film yang sudah sering kita lihat “The Long March”. Sedikit menyinggung film itu menggambarkan kusah yang sangat heroik dari pada perjalanan itu, melalui gunung-gunung dan hutan belukar.
Kegagalan Royen dalam perundingan membuat kecewa kalangan Belanda. Mulai dari pemerintah sampai laskar-laskar yang berada di Indonesia. Bahkan pada akhirnya, “kekalahan” ini lah yang menyebabkan kematian salah satu jendral Belanda, Spoor. Kematiannya pada 25 Mei 1949 disinyalir karena tekanan yang dia dapat dapat dari kekalahan ini.
Akhirnya tibalah saatnya presiden, wakil presiden, dan lain-lain, para pemimpin yang diasingkan di Bangka, kembali ke Yogyakarta. Tanggal 6 Juli 1949 mendaratlah pesawat terbang komisi PBB yang membawa Soekarno, Hatta, dan para pemimpin dari Bangka. Rakyat menyambut dengan gegap gempita dan suka cita. Kalimat kembali ke Jogja telah menandai dimualainya pemerintahan pasca agrsi militer II Belanda.
*dikutip dari kumpulan tulisan (Bunga Rampai) Mohammad Roem, Dari Sejarah, dengan judul Kembali ke Jogja.