{Kisah Sebuah Karambol (tanpa hiks-hiks)……}
Pagi-pagi buta, saya dan beberapa teman baru datang dari menonton pertandingan sepak bola di salah satu rumah kawan kami, tiba-tiba dikejutkan dengan raibnya sebuah benda berharga yang selama beberapa hari terakhir selalu menemani kami menghabiskan waktu menunggu detik-edit ujian kelulusan. Zen dengan tergopoh berujar bahwa benda kesayangan—karambol—kami ini telah diamankan (baca, dirampas) oleh salah satu ustad kami. “tadi dipakai main anak-anak kelas dua temannya wahib, terus ketahuan sama ustadz Kholik”, kabarnya singkat. Kontan membuat kami kaget bukan main. Sebuah benda ajaib yang telah menemani kejenuhan kami selama berahari-hari menjelang Final (ujian Nasional) ternyata bernasib sampai disini saja.
***
Terakhir kali bermain karambol saya lakukan pas kelas enam sekola dasar. waktu itu saya benar-benar kranjingan untuk memainkan benda-benda bulat-pipih itu di atas sebuah papan kayu bertabur tepung terigu itu. Hampir tiap hari sehabis duhur saya mesti menyisihkan waktu untuk berbondong datang ke rumah teman—si mpu karambol, dan sesegara mungkin mengambil posisi yang pas dan menunjuk lawan untuk bertanding satu lawan satu.
Setahuku, karambol ini merupakan karambol ketiga yang saya temui di desaku. Satu di rumahnya pak Najik, kedua di rumah Kaji Anshor, dan ini yang ketiga, di rumah salah satu teman karibku. Karambol ini dibuat sendiri oleh bapaknya, kebetulan saya juga ikut serta menyumbang tenaga dan waktu dalam proses pembuatan. Sesekali saya mengamplas permukaan-permukaan yang masih kasar. Kemudian menjemurnya, dan diamplas lagi. Proses ini dilakukan berulang-ulang sampai permukaan papan karambol itu benar-benar halus, dan siap dimainkan.
Meskipun masih sangat amatir, tetap saja itu tidak menyurutkan gairahku dalam menikmati permainan ini. Satu, dua sentilan selalu mempunyai seni tersendiri. Jari-jemari memeragakan bagaimana menembak yang baik. Tidak hanya sebatas itu saja, otak juga dituntut lihai untuk mengatur trik-trik permainan. Terkesan sangat elegan.
Kenikmatan bermain karambol terhenti ketika saya memutuskan untuk merantau menuntut ilmu di sebuah pesantren, di kecamatan sebelah. Rasa kangen tentunya muncul tiap saat, tapi apa lacur, kondisi pesantren tidak memungkinkan untuk saya merasakan nikmatnya bermain karambol (lagi). Karambol bersama-sama permainan lainnya dianggap barang haram—mamnu’ istilah pesantren, karena akan menghambat kegiatan belajar-mengajar di pesantren. Lama-kelamaan kondisi ini sedikit demi sedikit menghilangkan memori saya tentang karambol, bahkan sampai pada titik yang paling ujung, tidak pernah terbesit keinginan lagi untuk memainkan permainan ini.
Sampai pada suatu saat, teman sejawatku mempunyai ide untuk membuat karambol. Kontan ini memunculkan kembali memori kolektifku tentang permainan satu ini, dan serta merta mengusikku untuk kembali menjadi manusia-manusia Asia seutuhnya. Manusia yang suka bermain-main alias homo lodens, dalam artian bahwa kebutuhan akan hiburan dan pesta menjadi pilihan utama (Antony Reid).
Adalah Nasik—nama sebenarnya—yang pertama kali mempunyai ide untuk menghadirkan karambol sebagai alat pembuang rasa jenuh selama menunggu hari-hari penghabisan di pesantren. Nasik dengan jelinya berhasil melihat kebutuhan ini, yang mungkin saja sudah mengendap jenuh di otak kecil kami, manusia-manusia kelas tiga Madrasah Aliyah. Sebagai bocah yang sering memunculkan ide-ide kreatif, tentunya membuat kami menaruh rasa hormat yang berlebih kepada kawan kami ini. Sebuah penghormatan karena telah menghadirkan kepada kami Karambol.
Untuk selanjutnya, hari-hari kami lalui dengan bermain karambol—kadang-kadang sebidak papan monopli juga tidak sungkan-sungkan bersanding dengan benda berukuran kurang-lebih 80X80 cm ini. Orang-orang yang sebelumnya tidak tahu sama-sekali cara bermain karambol pun, pada akhirnya terpesona dan tergiur untuk sekadar mengayunkan tangannya ke dalam papan karambol. Sebuah fenomena yang sangat menggairahkan.
Animo bermain karambol semakin menggebu tatkala kami kelas 3 disentralkan ke dalam satu kamar—untuk beberapa saat kita dipisah menjadi beberapa kamar. Pagi bangun tidur, siang sehabis sekolah, malam sebelum tidur adalah waktu kosong yang harus kita ganti dengan permainan ini. Tidak ada teguran, tidak ada ancaman, bahkan cenderung didiamkan. Kami tidak tahu apakah ada motof di balik ini semua. Apakah menunggu momen baru karambol kami akan dirampas, ataukah memang ini toleransi bagi kami. Sepertinya ini angan-anganku yang terlalu berlebihan, bagaimanapun kami harus selalu waspada dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.
Dus, kekhawatiran kami terbukti sudah. Karambol satu-satunya kami pada akhirnya mampir juga ke tangan yang berwenang, Ustadz. Kami tidak pernah menyalahkan siapapun akan diambilnya barang kesayangan kami—kala—itu, bahkan sebagian kami malah merasa bersyukur dengan ditangkapnya hidup-hidup karambol itu. “Seandainya karambol itu tidak pernah diamankan oleh Ustadz, mungkin tidak akan pernah ada masa belajar bagi kita sebelum menghadapi ujian final nanti”, celoteh salah satu kawan beberapa saat setelah karambol dirampas.
Pada akhirnya kami Cuma bisa pasrah dengan kejadian ini. Mengutip nasihat kiai bahwa segala sesuatu ada ibrohnya, ada baik dan buruknya. Dan kami mengamini statement itu. Akan tetapi, merasa sangat iba dengan keadaan (mainan) monopoli yang tidak ikut serta diamankan. Dia menemani kami sendirian, tanpa karambol dan biji-bijinya, sampai tamatlah kami sebagai santri pesantren ini.
Tabik!!!
27 Juni 2010 dini hari (menjelang subuh)
Kos Papringan, Depok, Sleman.