Rabu, 27 Oktober 2010

Kenangan dengan Sebuah Karambol Butut

{Kisah Sebuah Karambol (tanpa hiks-hiks)……}



Pagi-pagi buta, saya dan beberapa teman baru datang dari menonton pertandingan sepak bola di salah satu rumah kawan kami, tiba-tiba dikejutkan dengan raibnya sebuah benda berharga yang selama beberapa hari terakhir selalu menemani kami menghabiskan waktu menunggu detik-edit ujian kelulusan. Zen dengan tergopoh berujar bahwa benda kesayangan—karambol—kami ini telah diamankan (baca, dirampas) oleh salah satu ustad kami. “tadi dipakai main anak-anak kelas dua temannya wahib, terus ketahuan sama ustadz Kholik”, kabarnya singkat. Kontan membuat kami kaget bukan main. Sebuah benda ajaib yang telah menemani kejenuhan kami selama berahari-hari menjelang Final (ujian Nasional) ternyata bernasib sampai disini saja.


***

Terakhir kali bermain karambol saya lakukan pas kelas enam sekola dasar. waktu itu saya benar-benar kranjingan untuk memainkan benda-benda bulat-pipih itu di atas sebuah papan kayu bertabur tepung terigu itu. Hampir tiap hari sehabis duhur saya mesti menyisihkan waktu untuk berbondong datang ke rumah teman—si mpu karambol, dan sesegara mungkin mengambil posisi yang pas dan menunjuk lawan untuk bertanding satu lawan satu.


Setahuku, karambol ini merupakan karambol ketiga yang saya temui di desaku. Satu di rumahnya pak Najik, kedua di rumah Kaji Anshor, dan ini yang ketiga, di rumah salah satu teman karibku. Karambol ini dibuat sendiri oleh bapaknya, kebetulan saya juga ikut serta menyumbang tenaga dan waktu dalam proses pembuatan. Sesekali saya mengamplas permukaan-permukaan yang masih kasar. Kemudian menjemurnya, dan diamplas lagi. Proses ini dilakukan berulang-ulang sampai permukaan papan karambol itu benar-benar halus, dan siap dimainkan.


Meskipun masih sangat amatir, tetap saja itu tidak menyurutkan gairahku dalam menikmati permainan ini. Satu, dua sentilan selalu mempunyai seni tersendiri. Jari-jemari memeragakan bagaimana menembak yang baik. Tidak hanya sebatas itu saja, otak juga dituntut lihai untuk mengatur trik-trik permainan. Terkesan sangat elegan.


Kenikmatan bermain karambol terhenti ketika saya memutuskan untuk merantau menuntut ilmu di sebuah pesantren, di kecamatan sebelah. Rasa kangen tentunya muncul tiap saat, tapi apa lacur, kondisi pesantren tidak memungkinkan untuk saya merasakan nikmatnya bermain karambol (lagi). Karambol bersama-sama permainan lainnya dianggap barang haram—mamnu’ istilah pesantren, karena akan menghambat kegiatan belajar-mengajar di pesantren. Lama-kelamaan kondisi ini sedikit demi sedikit menghilangkan memori saya tentang karambol, bahkan sampai pada titik yang paling ujung, tidak pernah terbesit keinginan lagi untuk memainkan permainan ini.


Sampai pada suatu saat, teman sejawatku mempunyai ide untuk membuat karambol. Kontan ini memunculkan kembali memori kolektifku tentang permainan satu ini, dan serta merta mengusikku untuk kembali menjadi manusia-manusia Asia seutuhnya. Manusia yang suka bermain-main alias homo lodens, dalam artian bahwa kebutuhan akan hiburan dan pesta menjadi pilihan utama (Antony Reid).


Adalah Nasik—nama sebenarnya—yang pertama kali mempunyai ide untuk menghadirkan karambol sebagai alat pembuang rasa jenuh selama menunggu hari-hari penghabisan di pesantren. Nasik dengan jelinya berhasil melihat kebutuhan ini, yang mungkin saja sudah mengendap jenuh di otak kecil kami, manusia-manusia kelas tiga Madrasah Aliyah. Sebagai bocah yang sering memunculkan ide-ide kreatif, tentunya membuat kami menaruh rasa hormat yang berlebih kepada kawan kami ini. Sebuah penghormatan karena telah menghadirkan kepada kami Karambol.


Untuk selanjutnya, hari-hari kami lalui dengan bermain karambol—kadang-kadang sebidak papan monopli juga tidak sungkan-sungkan bersanding dengan benda berukuran kurang-lebih 80X80 cm ini. Orang-orang yang sebelumnya tidak tahu sama-sekali cara bermain karambol pun, pada akhirnya terpesona dan tergiur untuk sekadar mengayunkan tangannya ke dalam papan karambol. Sebuah fenomena yang sangat menggairahkan.


Animo bermain karambol semakin menggebu tatkala kami kelas 3 disentralkan ke dalam satu kamar—untuk beberapa saat kita dipisah menjadi beberapa kamar. Pagi bangun tidur, siang sehabis sekolah, malam sebelum tidur adalah waktu kosong yang harus kita ganti dengan permainan ini. Tidak ada teguran, tidak ada ancaman, bahkan cenderung didiamkan. Kami tidak tahu apakah ada motof di balik ini semua. Apakah menunggu momen baru karambol kami akan dirampas, ataukah memang ini toleransi bagi kami. Sepertinya ini angan-anganku yang terlalu berlebihan, bagaimanapun kami harus selalu waspada dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.


Dus, kekhawatiran kami terbukti sudah. Karambol satu-satunya kami pada akhirnya mampir juga ke tangan yang berwenang, Ustadz. Kami tidak pernah menyalahkan siapapun akan diambilnya barang kesayangan kami—kala—itu, bahkan sebagian kami malah merasa bersyukur dengan ditangkapnya hidup-hidup karambol itu. “Seandainya karambol itu tidak pernah diamankan oleh Ustadz, mungkin tidak akan pernah ada masa belajar bagi kita sebelum menghadapi ujian final nanti”, celoteh salah satu kawan beberapa saat setelah karambol dirampas.


Pada akhirnya kami Cuma bisa pasrah dengan kejadian ini. Mengutip nasihat kiai bahwa segala sesuatu ada ibrohnya, ada baik dan buruknya. Dan kami mengamini statement itu. Akan tetapi, merasa sangat iba dengan keadaan (mainan) monopoli yang tidak ikut serta diamankan. Dia menemani kami sendirian, tanpa karambol dan biji-bijinya, sampai tamatlah kami sebagai santri pesantren ini.


Tabik!!!


27 Juni 2010 dini hari (menjelang subuh)

Kos Papringan, Depok, Sleman.

Catatan Buat Sebuah Lembaga Pendidikan yang disebut Pesantren

Siang itu, untuk terakhir kalinya saya mengucapkan kata perpisahan di depan ratusan wali murid yang hadir kala itu, yang menyempatkan datang untuk sekadar mendengar penuturan kepala sekolah bahwa anaknya telah lulus dengan predikat begini, begitu dan lain sebagainya dan tentuntya telah diwisuda sebagai lulusan sebuah ponpes di pinggiran kota Lamongan. Para wali itu berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Kebanyakan petani dan nelayan, namun tidak sedikit pula yang agak beruntung, menjadi pegawai negeri. Intinta kesemuanya larut dalam keharuan. Para anak mendapat pelukan hangat dari bapak dan emaknya. para wisudawan mendapat ucapan selamat dari adik-adik kelas yang sedari tadi, terlihat iri, seakan terbesit dalam hati mereka, “kapan saya menyusul mereka. Selamat jalan kakak, selamat jalan kawan”.


Sebuah kehormatan bagi saya, sebut saja saya Fulan. Kenapa? Karena hari ini—hari perpisahan—saya ditunjuk oleh kepala sekolah sebagai perwakilan kelas tiga untuk mengutarakan sepatah-dua patah kata perpisahan terakhir, sebelum melenggang-kanggkung ke lingkungan yang—menurut kawan-kawanku—lebih berliku dan berkelok. Segala persiapan telah saya atur sedimikain rupa guna menampilkan yang terbaik dalam ucapan perpisahan nanti. Diksi-diksi saya tata serapi mungkin, sesopan mungkin, dan tentunya seelegan mungkin. “Ponpes dan aliyah ini terbukti telah mampu menghasilkan generasi-generasi yang unggul, yang siap terjun ke tengah masyarakat. Maka dari itu, jangan segan-segan untuk sekali lagi menyekolahkan putra-putri bapak dan ibu di pesantren ini”, seruku dengan nada yang cukup lantang. Aplaus dan antusiasme menggema menyergapi aula yang tidak seberapa besar. Rasa bangga dan haru menyatu menjadi satu kesatuan harmonis, campur aduk tidak jelas.


Sayang, keceriaanku agak bercacat. pasalnya tidak satupun dari keluargaku mendampingiku mengarungi momen istimewa ini. Bapak dan ibuku masih begitu ngeyel untuk mengumpulkan uang guna menambah perbendaharaan, sebagai persiapanku masuk ke sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta nanti. Kakakku, saya tidak mau terlalu egois memaksakan kedatangannya ke sini hanya untuk menunggui adik bandelnya ini. Tidak ada alasan mengganggunya, karena saya tahu kesibukannya diperuntukkan hanya kepada kedua adiknya, dan tentunya untuk emak dan bapaknya. Terkecuali adikku, dia masih setia menemani abangnya, karena secara kebetulan dia satu sekolah denganku.


Sementara kawan-kawanku asik bercandagurau dengan handaitolan, sambil makan dan berbincang, saya lebih memilih untuk menghampiri adik semata wayang saya. Menegurnya. Nampaknya dia juga terlihat sesedih apa yang saya rasakan. Tidak ada keluarga, Cuma kami berdua. Sekotak nasi yang sedari tadi saya tenteng, segera saya kasihkan ke dia, sebagai modal makan siangnya nanti. Semoga itu cukup menghibur perasaannya. Sambil memberi tahu bahwa tanggal sekian saya harus segera ke Yogyakarta untuk regitrasi, saya menitipkan beberapa pesan agar dia rajin belajar, jangan boros lagi, jaga lemari (warisan) dan menyerahkan bebarap buku ajar ke dia. Jujur, saya bukan sosok yang mudah meneteskan air mata, dan kami anggap ini adalah hal yang sangat biasa, karena sedari kecil kami telah terbisa hidup jauh dari orang tua.


Seketika itu pula terbesit dalam benakku, bahwa saya masih mempunyai satu keluarga lagi, yang sudi merawatku selama kurang lebih enam tahun terakhir. Tawa dan tangis sepenuhnya saya curahkan kepadanya, ponpesku beserta santrinya, masjidnya, kiainya, kamar mandinya, dapurnya, kamar-kamar asramanya, hukumannya, keseronokannya dan semuanya. Terpatri dalam hati paling dalam sebuah kalimat “kau adalah keluarga keduaku setelah keluarga asliku”. Itu yang sampai sekarang membuatku berharap untuk segera bersua dan bercanda dengan keseronokannya itu. Ah, ponpesku. Bagaimana kabarmu sekarang? Tak terasa kau sudah mau beranjak 24 tahun.

Tabik!!!!


(jujur aku menitikkan air mata dalam tulisan yang jauh dari sempurna ini)

Kos papringan, 10 juli 2010, pukul 11.30 WIB