Sabtu, 10 April 2010

Ahn Jung Huan


Penghancur Sepakbola Italia

Sebuah umpan silang panjang pada menit ke 117 babak perpanjangan waktu, dari pertahanan sebelah kiri timnas italia berhasil disundul dengan baik oleh Ahn jung Hwan. Bola meluncur deras tepat berada di pojok kiri gawang Gianluigi Buffon, membuat sang kiper hanya bisa tepaku melihat gerak bola. Sekor 2-1 segera memudarkan impian timnas Italia untuk lebih lama lagi berada di putaran final Piala Dunia 2002 Jepang-Korea Selatan. Ahn Jung Hwan, sang pencetak gol seketika menjadi musuh bersama publik Italia.

Publik Korea menyebutnya “The Lord of the Ring”

Sebelum putaran final piala dunia 2002 yang diselenggarakan di Jepang dan Korea, tidak seorangpun yang kenal dengan nama Ahn Jung Hwan. Publik lebih mengenal nama David Beckham, kapten timnas Inggris, Francesco Totti, andalan lini depan timnas Italia, Ronaldo, si gigi tongos calon  kuat top scorer punya tim Samba, ketimbang mengenal nama yang disebutkan di atas. Mungkin hanya publik Korea Selatan saja yang tahu nama itu, tetapi setelah satu golnya ke gawang gianluigi Buffon, nama Ahn Jung Hwan menjadi buah bibir media-media seantero dunia. Publik Italia mengecam, tapi banyak juga yang menyanjungnya bak pahlawan.

Ahn Jung Hwan dilahirkan di Paju,Gyeonggi, Korea Selatan pada 27 Januari 1976. Karir profesional Ahn dimulai ketika dia membawa sebuah klub lokal di K-League, Bussan Daewoo Royals pada 1998. Meskipun cuma membela tim ini selama tiga tahun, Ahn berhasil menorehkan prestasi yang tidak mengecewakan. Dia berhasil menyematkan namanya sebagai pesepakbola terbaik K-League, liga lokal Korea Selatan, tahun 1999. Karena prestasinya itu, Ahn membuat salah satu klub di liga Serie A Italia, Perugia, kesengsem kepadanya. Dan pada musim 2000/2001 perugia resmi merekrut pemain yang gemar mencium cincin di jarinya tatkala mencetak gol ini dengan setatus pemain pinjaman. Karena kegemarannya mencium cincin setalah mencetak gol, masyarakat Korea Selatan menyematkan sebutan “The Lord of the Ring” kepada pemain bernomor punggung 19 ini.

Namun, keinginannya untuk berlama-lama menikmati atmosfer sepak bola Eropa, terutama Italia lenyap sudah. Publik Italia kadung memusuhinya, karena dianggap sebagai biang tersingkirnya Italia di putaran final piala dunia 2002 Korea-Jepang. Dia pun  berlabuh kembali ke persepakbolaan Asia dan bergabung dengan salam satu tim di Liga Jepang, Liga Korea dan terakhir Liga Cina.

Dan Italia pun tersungkur di menit ke-117

Pagi tanggal 18 Juni 2002 Ahn Jung Hwan bangun dari tidurnya dengan perasaan gundah-gulana. Malam nanti dia akan menghadapi Italia. Seperti yang diketahui bahwa selama dua tahun terakhir ini dia bermain pada salah satu klub Liga Italia, Serie A, Perugia. Dan malam itu pula dia akan diuji jiwa patriotismenya, membawa Korea Selatan terus melaju ke babak selanjutnya atau “menyerah” kepada Italia.

Tekanan yang dirasakan Ahn sangat bertubi-tubi, konon dia juga mendapat ancaman dari para mafioso sangar dari Italia agar tidak mencetak gol ke gawang Gianluigi Buffon. Klub yang dia bela selama dua tahun terakhir, Perugia, juga mengharapkan dia menghormati Italia, bahkan dia juga diberi janji akan mendapatkan fasilitas dan bonus dari klubnya itu jika dia mampu untuk memberi jalan Italia maju ke babak perempat final. Ahn benar-benar berada di persimpangan jalan, memilih antara dua hal yang sangat kontradiktif. Menguji integritasnya sebagai putra Korea sejati, atau memilih untuk melempangkan jalan masa depannya sebagai pemain sepak bola profesional.

Stadion Daejon yang berkapasitas kurang lebih empatpulunribu kursi telah dipadati oleh penonton, kebanyakan memakai atribut berwarna merah,warna kebanggaan timnas Korea Selatan. Bahkan diberitakan bahwa masih banyak pendukung timnas Korea Selatan yang berada di luar Stadion.

Pertandingan Korea Selatan melawan Italia berlangsung cukup ketat, alot dan cederung keras. Wasit beberap kali mengeluarkan kartu dari saku kaosnya untuk melancarakan jalannya pertandingan. Italia memimpin terlebih dahulu lewat sebuah gol yang dilesatkan oleh Cristian Vieri pada menit ke-18. Sebenarnya Korea Selatan mampu untuk unggul terlebih dahulu jika Ahn Jung Hwan mampu mengkoversi tendangan penalti menjadi gol, sayang tendangannya terlalu lemah untuk menjebol gawang yang dijaga oleh kiper nomer satu Italia, Gianluigi Buffon. Harus kita cermati pula, apakah kegagalan Ahn mengeksekusi pinalti buntut dari kegundahannya menjelang pertandingan atau ini karena murni kesalahan Ahn sebagai eksekutor pinalti yang kurang baik?

Korea Selatan tidak menyerah sampai di situ. Perjuangat terus berlanjut. serangan demi serangan terus dilancarkan ke daerah pertahanan  Italia. Bek-bek timnas Italia kelihatan semakin panik menghadapi serangan anak-anak Korea yang bertubi-tubi. Meski demikian Italia masih merasa berada di atas angin karena sampai menit ke-87 sekor masih 1-0 untuk keunggulan timnas Italia. Ketika waktu masih menyisakan dua menit, Italia tiba-tiba dikejutkan gol balasan Korea Selatan menit 88’ oleh Seol Ki-Hyon.

Gol itu disambut gemuruh suka cita penonton tuan rumah di stadion Daejon. Seakan mendapat tenaga baru, Korea terus menekan Italia untuk mencari kemenangan. Sebelum peluit panjang ditiup oleh wasit, sebuah tendangan salto mengancam gawang Buffon, untung saja sang penjaga gawang nomer satu Italia mampu menggagalkannya dengan baik. Kedudukan imbang sampai peluit panjang tanda pertandingan usai dan pertandingan terpaksa dilanjutkan dengan babak pertambahan waktu.

Pada babak perpanjangan waktu itu,  tekanan kepada Italia semakin menjadi-jadi. Timnas Korea Selatan seakan-akan menujukkan dan berteriak “Ini Kandang Kami”. Tekanan kepada Italia semakin besar ketika playmaker mereka, Francesco Totti diusir oleh wasit Byron Moreno menit 103’ karena dianggap telah melakukan diving di depan gawang Korea Selatan. Dan, Ahn Jung Hwan seakan menemukan jati dirinya sebagai seorang warga negara Korea Selatan sejati setelah melihat heroisme yang ditunjukkan kawan-kawannya sepanjang pertandingan.

Dan puncaknya adalah, ketika serangan balik dari arah kanan pertahanan Italia telah berjalan dengan semestinya. Sebuah umpan silang menuju jauh ke pojok gawang “Gigi” Buffon berhasil disundul dengan manis oleh Ahn Jung Hwan, pemain yang selama pertandingan mendapat perhatian khusus dari publik Italia. Seakan tidak memerdulikan keadaan disekilinggnya, Ahn berlari kencang ke pinggir lapangan dan meluapkan kegembiraanya dengan sejadi-jadinya. Ahn adalah pahlawan bagi Korea Selatan, karena untuk pertama kalinya Korea Selatan melaju ke babak perempatfinal selama sejarahnya mengikuti perhelatan pesta Piala Dunia.

Akan tapi tidak bagi publik Italia. Gol itu telah meluluhlantakkan angan Italia untuk menjadi juara setelah puasa gelar Piala Dunia selama kurang lebih dua dasawarsa. Dan Italia harus angkat koper dan pulang lebih dahulu mengikuti Prancis, Argentina, Portugal dan Spanyol.

Untuk kedua kalinya Italia terkapar oleh tim Korea, setelah Korea Utara pada piala dunia tahun 1966, kini giliran Korea Selatan yang menggulung mereka dalam ajang Piala Dunia 2002 Korea-Jepang.

Luciano Gaucci: “Anda Tidak Akan Pernah Menginjakkan Kaki di Perugia Lagi”

Mungkin Ahn Jung Hwan tidak pernah menyangka bahwa gol yang dia lesatkan ke gawang Italia menit ke-117 babak perpanjangan waktu akan berbuntut panjang seperti yang dia alami saat ini. Karena gol inilah, dia kehilangan mata pencahariannya sebagai pesepakbola di tanah Italia. Karena golnya inilah menyebabkan dia menjadi Publik Anemy  masyarakat Italia secara keseluruhan. Dan kerana golnya inilah dia mencatatkan namanya di papan sejarah pesepakbolaan Korea Selatan. Sebuah gol yang hebat, kontradiktif dan penuh dengan kontroversi.

Segera setelah kekalahan Italia atas Korea Selatan, Luciano Gaucci menyatakan telah memecat aset masa depannya itu itu. Dalam statement-nya dia mengatakan, “anda tidak akan pernah menginjakkan kaki di Perugia lagi. Saya tidak mempunyai niat untuk menggaji orang yang telah merusak persepakbolaan Italia”. Pernyataan Gaucci seolah diamini oleh segenap publik Italia yang tentunya sangat kecewa dengan kekalahan Italia.

Alasan Gaucci memecat Ahn Jung Hwan dari skuad Perugia tidak hanya karena dia telah menyebabkan kekalahan bagi Italia, tapi karena selama membela Perugia di level domestik Ahn Jung Hwan tidak mampu memberi sesuatu yang maksimal bagi Perugia, dalam 29 partai yang dia lakoni bersama Perugia dia hanya mencetak lima gol. Jauh dari kata memuaskan untuk seorang pemain yang dicap sebagai pemain terbaik K-League kurun waktu 1999. Berbeda halnya dengan apa yang dia torehkan bersama timnas Korea Selatan. “dia kelihatan sangat fenomenal hanya ketika berhadapan dengan Italia”, ungkapnya kepada La Gazzetta dello Sport.

Cerce Cosmi, pelatih Perugia waktu itu tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong anak buahnya itu. “Ahn adalah pemain yang mempunyai potensi cukup tinggi. Dalam masalah ini saya tidak bisa berbuat apa-apa kala menejemen klub sudah memutuskan kontraknya musim depan”, ungkapnya. Begitu pula dengan FIFA, federasi sepakbola tertinggi seantero jagad. FIFA juga tidak bisa berbuat banyak untuk menanggapi masalah ini, bahkan cenderung tidak mau tahu. Melalui Direktur Komunikasinya, Keith Kooper menyatakan penolakannya untuk mencampuri urusan ini.”ini adalah urusan si pemain dengan klub. Ini tidak untuk kami campuri, karena tidak seorang pun yang melapor pada kami (perihal ini)”, dalihnya seperti yang dikutip oleh BBC Sport.

Ahn Jung Hwan akhirnya resmi meninggalkan Italia, dan meninggalkan Eropa. Dia memilih kembali ke Asia dan bergabung bersama klub anggota J-League, Shimizu S-Pulse. Setelah satu musim bersama Shimizu, dia berlabuh ke klub anggota J-League lainnya, Yokohama Marinos sampai pertengahan 2005. Setelah merasa sukses di Jepang dia memilih untuk kembali mengadu nasib di Eropa lagi. Dia memilih FC. Metz sebagai klub pertamanya setelah didepak oleh Perugia. Sempat ada tawaran untuk mengikuti training di klub anggota liga Inggris, Blackburn Rovers, tapi dua kali dia gagal menunjukkan performa terbaikknya. Nasib baik rupanya masih berpihak kepadanya, Februari 2006 sebuah klub anggota Bundesliga sepakat untuk memakai tenaga Ahn. Kali ini nasib baik enggan untuk mendekat kepadanya, dia gagal total menunjukkan performa terbaiknya dalam comeback-nya ke Eropa. Dia memutuskan untuk kedua kalinya kembali ke Asia. Dia memilih Korea pada awalnya, dan sekarang dia terdampar untuk membela sebuah klub anggota liga Cina.

Sungguh besar efek yang dihasilkan oleh gol Ahn ke gawang Italia pada PD 2002. Dia seakan-akan menjadi pesakitan dunia sepak bola. Bolak-balik Eropa-Asia hanya untuk mencari peruntungan dan peningkatan performa. Tidak mungkin Ahn kembali ke Italia lagi, publik Italia sudah kadung benci kepanya, kepada golnya yang merusak Italia.

Meskipun demikian, dia adalah pahlawan Korea. Dia telah menorehkan tinta emas sejarah persepakbolaan Korea. Di mata orang Korea Ahn Jung Hwan tetaplah The Lord of the Ring yang akan selalu mencium cincin di jarinya setelah mencetak gol

Jumat, 09 April 2010

Cina Dibenci, tapi Berarti


Judul Buku : Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina. Sejarah Etnis Cina di Indonesia

Penulis : Onghokham

Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta

Tebal halaman: 204 halaman

Berbicara sejarah Indonesia, Cina adalah warna tersendiri yang ada. Banyak sekali kajian yang dapat kita peroleh ikhwal eksistensi keturunan Cina di Indonesia. Pada masanya Cina pernah menempati posisi yang strategis dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia. Pemerintah colonial Belanda pernah mengklasifikan kelas-kelas masyarakan pribumi kala itu, dan Cina, bersama Arab dan negara Timur Jauh lainnya menempati urutan kedua di bawah Belanda dan Eropa.

Tidak dapat dipungkiri bagaimana semangat dagang Cina yang ada selama ini. Cina menempati sector-sektor yang sangat strategis dalam arus perekonomian Indonesia, baik itu pada masa colonial ataupun masa sekarang. Itulah yang menyebabkan Cina terus bertahan di tengah arus kolonialisasi yang semakin hari semakin menggila kala itu. Cina seakan-akan tidak ambil pusing dengan keadaan nusantara kala itu. Yang terpenting adalah bagaimana mereka masih terus bisa bergerak dalam bidang yang selama ini menjadi ranah mereka. Perdagangan.

Namun demikian, tidak sedikit pula keturunan Cina yang juga bergerak dalam dinamika pergerakan nasional. Seperti Lie Eng Hok, Karim Oe, Kwee hing tjiat, dan lain sebagaimnya. Mereka secara sadar telah bersama-sama memerjuangkan kemerdekaan bangsa dari cengkraman penjajah.

Di sisi lain, kita akan disuguhkan dengan kenyataan yang cukup memilukan ikhwal pembantaian-pembantaian yang ditujukan kepada keturunan-keturuan Cina. Akhir abad 19 kita mungkin masih ingat dengan pembantaian besar-besaran Cina di Batavia oleh VOC. Ribuan nyawa tidak bersalah melayang begitu saja. Klimaksnya adalah ketika meletusnya pemberontakan Tigapuluh September. Versi resmi pemerintah sampai sekarang masih yakin mengatakan bahwa dalang di balik peristiwa ini adalah PKI (Partai Komunis Indonesia). Dampaknya adalah apapun yang berafiliasi dengan komunis maka akan dihanguskan dan dibersihkan. Begitu pula dengan etnis-etnis Cina.

Selain peristiwa kisaran tahun 65 itu, pembantaian besar-besaran terhadap etnis Cina adalah ketika terjadinya reformasi tahun 1998. Penjarahan terhadap took-toko Cina terjadi di mana-mana. Selain penjarahan, adalah pemerkosaan menjadi headline beberapa suratkabar local maupun nasional. Sungguh sangat ironis. Begitulah dinamika Cina di Nusantara. Sangat berkelok dan penuh dengan liku. Terkadang mereka berada diatas roda perputaran, terkadang berada di bawah.

Dalam buku “Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina. Sejarah Etnis Cina di Indonesia” karangan Onghokham ini akan memaparkan dinamika-dinamina tersebut. Buku ini sangat luga membahas tentang kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh orang-orang keturunan (Cina). Mulai dari sejarah awal eksistensi Cina di Nusantara sampai tuntas membahas agama-agama yang dianut oleh orang-porang Cina di Indonesia. Namun, yang menjadi sorotan utama buku ini adalah munculnya sinisme terhadap eksistensi Cina di Nusantara dari pelbagai perspektif.

Dalam buku ini, Ong (sapaan akrab Onghokham) menjelaskan bahwa akar gerakan anti Cina berakar pada masa colonial Belanda. Belanda membagi membagi masyarakat ke dalam tiga golongan rasial; Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Cina berada dalam golongan kedua. Sampai kisaran tahun 1910 setiap golongan ditempatkan dalam tempat-tempat yang khusus (ex. Kampung Cina, kampus Arab, kampong India, dst). Pembatasan ini bagi golongan timur asing seperti Cina dipertegas dengan keharusan memiliki pas jalan bagi perjalan dari kampong Cina satu ke Cina yang lain. System inipun tidak berbeda jauh dengan kebijakan apartheid di Afrika Selatan.

Dalam sudut pandang pribumi, muncul mitos yang mengatakan bahwa golongan Cina selalu mendapat perlakuan yang istimewa dari pemerintah Belanda. Namun, beberapa peneliti mengatakan bahwa pemerintah Belanda memiliki sentiment anti Cina yang cukup besar, dan sentiment ini memuncak pada kisaran 1900. Hal ini dikarenakan Cina menempati posisi pedangan perantara Eropa dengan Pribumi dan mendominasi setiap perdagangan di tiap-tiap kota di Jawa.

Politik colonial anti Cina ini menyebabkan timbulnya gerakan emansipasi Cina-jawa. Mereka mununtut persamaan hak dengan orang-orang Eropa. Gerakan ini adalah yang pertama dari masyarakat Hindia Belanda yang bergerak menghadapinya. Gerakan ini berhasil menghapuskan semua pembatasan terhadap mobilitas fisik etnis Cina.

Akar-akar Sentimen terhadap Cina

Ketika kita bertanya siapakah actor intelektual munculnya benih-benih sintemen terhadap keturunan Cina, maka jawaban yang akan muncul adalah pemerintah colonial Belanda. Meskipun tidak secara tersurat pemunculan itu, namun ketika kita menilik lebih jauh beberapa kebijakan Belanda, maka ada semacam konspirasi untuk menyingkirkan keberadaan Cina di Nusantara.

Pada awalnya, Cina adalah mitra dagang bagi orang Belanda, tepatnya ketika masa VOC. Namun, bukan berarti hubungan mereka berjalan dengan mulus. Banyak krikil-krikil tajam yang mewarnai hubungan kedua negara (dagang) ini. Puncaknya adalah pembunuhan besar-besaran penduduk Cina oleh bangsa masyarakat Beland di Batavia tahun 1740.

Paska kerusuhan 1740, Belanda membentuk kelas-kelas dalam masyarakat Indonesia (Hindia Timur). Belanda dan Eropa menempati kelas pertama. Bangsa timur asing, termasuk Cina menempati kelas kedua, dan tempat ketiga ada penduduk pribumi, yaitu penduduk asli Indonesia. Ada beberapa aspek yang bisa kita lihat dengan fenomen pembagian kelas tersebut. Pertama, dengan diperlakukannya kebijakan tersebut, berlaku pula system pelokalisasian terhadap satu etnik. Semisal etnik Cina dikonsentrasikan di pemukiman Cina, etnik Arab di pemukiman Aran, Etnik India di pemukiman India, dan seterusnya. Dengan diperlakukannta system itu, maka kelompok-kelompok yang tersekat itu akan mempunyai ruang gerak yang sangat sempit dan cenderung bersifat stagnant. Sentiment Belanda terhadap Cina nampak dalam permasalahan ini, dengan membatasi seluruh gerak-gerik orang-orang Cina.

Kedua. Dengan menaruh orang-orang pendatang dari Cina satu tingkat diatas penduduk asli pribumi, menjadikan ada kecemburuan social orang-orang pribumi terhadap orang-orang Cina. Sampai kemudian muncul mitos yang mengatakan bahwa orang-orang Cina mendapatkan perlakuan yang sangat istimewa dari Belanda. Padahal, seperti yang telah disinggung tadi, bahwa Belanda memeliki sentiment terhadap Cina begitu tinggi.

Sentimen anti Cina yang kuat hidup dalam pemerintahan colonial Belanda terutama terlihat dalam kebijakan politik etis (1900) yang ditujukan untuk menaikan perhatian masyarakat pribumi. Pejabat Belanda merasa bahwa mereka harus melindungi masyarakat pribumi dari kelicikan orang-orang Cina. Adanya peraturan ini dan diperlakukan diskriminasi lainnya bukan berarti bahwa orang Cina tidak berkembang di bawah system politik etis colonial Belanda.

Kerusuhan pertama anti Cina adalah huru-hara Kudus tahun 1918, dimana Kudus mempunyai golongan-golongan kelas menengah dari kalangan pribumi Jawa dan Muslim Jawa. Pada awalnya, kerusuhan ini disinyalir akibat prosesi klenteng oleh penduduk Cina yang menyakiti masyarakat muslim setempat. Namun, setelah ditelisk lebih lanjut, ternyata kerusuhan ini disebabkan oleh latar belakang persaingan dagang kelas menengah. Persaingan ini muncul akibat kebijakan Belanda yang menghapus system pembatasan mobilitas kepada orang-orang Cina, dan membiarkan mereka membaur dengan penduduk pribumi dalam perdagangan.

Saya kira buku sangat cocok untuk pembaca pemula ikhwal eksistensi Cina di nusantara. Memang sudah sangat banyak sekali buku-buku sejenis yang membahas tentang bagaimana Cina menjalani kelangsungan hidupnya di negara yang seratus persen berbeda dengan kultur pribadinya. Buku ini menjelaskan secara runut bagaimana pola interaksi Cina, baik itu dengan pemerintah kala itu (Belanda) ataupun dengan penduduk pribumi local. Dengan media perdagangan, Cina mampu menjadikan dirinya sebagai salah satu kekuatan dan warna baru sejarah Indonesia. Akibatnya, kita tidak begitu saja men-judge bahwa Cina adalah jelek.

Namun demikian, saya kira masih ada beberapa kekurangan yang harus menjadi bahan koreksi, baik itu untuk penerbit maupun penulis itu sendiri. Mungin salah satunya adalahm, dikarenakan Ong adalah seorang keturunan Cina, maka ditakutkan tulisannya ini agak berbau ke-Cina-cinaan. Sehingga terkesan sangat subjektiv. Akan tetapi, sejarawan sekaliber Ong tidak diragukan lagi eksistensinya dan karya-karyanya. Ong terkenal dengan beberapa tulisannya tentang sejarah Indonesia abab 19. Selain itu, Ong sangat gemar menulis sejarah-sejarah yang sangat ringan. Pernah dia menulis tentang Mie, pakaian, mitos dan banyak lagi yang lainnya. Tabik!

Kamis, 08 April 2010

PENDIDIKAN PESANTREN, PENDIDIKAN ALTERNATIF


Ketika pertama kali mendengar kata pondok pesantren, pasti yang pertama muncul di benak kita adalah sebuah sistem yang di dalamnya terdapat peraturan yang sangat ketat akan penanaman ajaran-ajaran keagamaan, dalam hal ini adalah Islam sebagai asas pesantren itu sendiri. Pernyataan itu tidak sepenuhnya salah, karena pada dasarnya, pesantren memang di desain untuk menciptakan kader-kader yang mumpuni dalam urusan keagamaan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa pesantren, terutama pesantren modern yang saat ini banyak berkembang, telah memberi solusi baru terhadap dekadensi pendidikan Indonesia di era globalisasi ini yang semakin hari semakin terperposotkan.

Mengutip dari salah satu ayat al-quran yang berbunyi “ maka Alloh akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan mencari ilmu dengan beberapa kali derajat”. Kutipan itu sudah cukup kuat menganjurkan kita terhadap pentingnya menuntut ilmu, pentingnya pendidikan terhadap kemajuan suatu bangsa. Pendidikan adalah ujung tombak peradaban bangsa. Kita mampu membayangkan bagaimana nasib sebuah bangsa ketika telah terjadi degradasi moral dan spiritual ketika di karenakan kebutuhan ilmu pengetahuan yang tidak terpenuhi.

Karna urgen-nya ilmu pengetahuan, sampai-sampai Rasululloh dalam sebuah hadisnya menganjurkan, bahkan mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu. Dan dalah salah satu hadisnya pula, beliau menganjurkan umatnya untuk mengejar ilmu itu sampai ke negeri Cina. Cina dalah hal ini adalah representasi betapa pentingnya sebuah ilmu pengetahuan, meskipun itu berada di tempat yang sangat jauh. Masih mengutip dari salah satu pepatah arab, “tuntutlah ilmu dari buaian ibu sampai ke liang lahat”. Kutipan ini menjelaskan rentan menuntut ilmu tidak terdefiniskan, kapan kita haru memulai menuntut ilmu dan kapan kita harus mengakhirinya. Menuntut ilmu adalah tuntutan kehidupan yang harus kita emban ketika kita terlahir ke dunia, dan akan berakhir ketika kita benar-benar tdiak lagi bernafas.

Namun sangat ironis, ketika menyandingkan pernyataan di atas dengan keadaan pendidikan ni negeri tercinta ini. Indonesia ternyata belum mampu menjadi advokator yang baik untuk pendidikannya. Terlalu banyak cacat yang harus segera dibenahi dan di renovasi. Karena saking banyaknya cacat yang mendera, sampai-sampai pelbagai macam model pendidikan dan kebijakan belum mampu mengentaskan pendidikan kita ke arah yang lebih baik dan maju. Pendidikan Indonesia yagn telah dibangun semenjak era pergerakan itu semkain hari semakin menyedihkan. Permasalahan muncul mulai biaya pendidikan yang melambung tinggi, korat-karitnya aturan UN alias ujian nasional, gonta-gantinya model kurikulum semakin menenggelamkan ke jurang kenistaan. Saya dan beberapa kawan pernah membayangkan, seandainya tokoh-tokoh pendidikan kita dulu bisa hidup kembali, seperti apa kesedihan dan penyesalan mereka. Tentunya mereka akan menangis sejadi-jadinya. Ahmad Dahlan akan mengutuki kadernya satu persatu, Ki Hajar Dewantara akan misuh-misuh terhadap para pamong-nya, dan Raden Ajeng Kartini tentunya akan cuap-cuap tidak jelas karena melihat perempuan tidak mempunyai andil apapun terhadap perkembangan pendidikan. Memang itu Cuma bayangan kami, namun tidak mungkin bayangan itu muncul kalau tidak disebabkan oleh buruknya mutu pendidikan Indonesia.

Sekarang, yang menjadi pertanyaan besar kita saat ini adalah, sismtem pendidikan yang seperti apa yang benar-benar cocok dengan karakter dan watak orang indonesia. Kita membutuhkan sistem baru yang mampu menampung segala keluh dan kesah masyarakat indonesai, tentunta pendidikan itu yang pro terhadapa rakyat, yang mampu dijangkau oleh rakyat, terutama dalam ha ekonomi dan tentunya tidak neko-neko. Berbicara tentang neko-neko, semakin hari kita semakin senewen dengan pola kebijakan pendidikan kita. Ada yang menginginkan agar bertarap internasional, padahal secara sarana dan prasana belum cukup mampu untuk menuju kesana. Ada yang beraangan menjadi sekolah percontohan se-Indonesia, padahal masih banyak elemen sekolahnya yang belum cocok untuk menjadi suri dan contoh. Pendidikan kita serba sulit. Kalau merujuk ke kata pepatah, “Hidup Enggan, Mati Tidak Mau”, kembang kempis seperti halnya balon udara.

Pendidikan Pesantren, Pendidikan Alternatif

Menurut Bryan bahwa pendidikan pesantren adalah sebuah ladang dan lahan subur yang biasanya digunakan sebagai tempat untuk menjadikan manusia itu mempunyai kepribadian yang baik, sekaligus mengembalikan islam ke esensi awal, yaitu islam sebagai agama adalah berfungsi sebagai perekat sosial yang terkesan terlalu antagonistik atau bahkan sebagai candu sosial yang akan menekan konfik antar masyarakat. Agama, secara umum, dapat dikatakan berfungsi mempertahankan kohesi sosial secara fugnsional agama konstitusi kontrol sosial paling utama dalam interaksi sosial itu sendiri (Bryan, 2006). Jadi sangat jelas disini, bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang (juga) dalam visi dan misinya berupaya menciptakan kader-kader yang unggulan, yang peka terhadap realita sosial yang selalu berdinamikan hari demi hari.

Sejalan dengan visi dan misinya juga, pesantren berusaha dan selalu menjadi corong pendidikan indonesia dalam kontek kekinian. Tidak mungkin dipungkiri, pondok pesantren mempunyai sumbangsih yang tidak sedikit kepada pendidikan ini. Tidak usah muluk-muluk kita menghadirkan sebuah contoh, penulis adalah seorang yang pernah beberapa tahun mengecap bangku pondok pesantren. Memang kesannya cukup subjektif, tapi paling tidak itu adalah representasi dari pentingnya pesantren bagi kelangsungan pendidikan Indonesia.

Pendidikan pesantren sebagai alternatif berarti pendidikan dengan corak dan pola agamis adalah sebuah opsi terbaru, dimana pendidikan Indonesia berada dalam titik yang paling memprihatinkan. Sebagai pendidikan alternatif, tentunya pesantren tidak setengah-setengah dalam menjalankan roda pendidikannya. Dalam kontek kekinian, kurikulum pesantren semakin hari semakin berkembang, mengikuti arus dinamikian masyarakat. Sebagai bukti adalah mulai hilangnya stigma yang mengatakan pelajar pondok adalah pelajar yag kuper alias kurang pergaulan dan cenderung gagap teknologi. Pondok pesantren, terutama pondok modern, telah mempunyai syarat yang cukup untuk sekadar dikatakan sebagai representasi pendidikan modern, seperti halnya sekolah-sekolah pada umumnya.

Menjadi pendidikan alternatif tentunta mempunyai konsekuensi tersendiri yang harus mampu ditanggung oleh pesantren itu. Ada beberapa hal yang kudu digarap, meskipun harus menggadaikan idealisme pesantren, dalam hal ini adalah idiologi agama, yaitu reorientasi pesantren. Hal ini sesuai dengan misi Islam tranformatif yang mencoba menjadikan islam lebih akomodatif dan fleksibel sehingga masyarakat mampu menerimanya dengan tangan yang benar-benar terbuka. Akan tetapi, ada satu hal yang harus diperhatikan, terutama dengan pandangan pesantren-pesantren konservatif yang cenderung menjaga tradisi pesantren-pesantren tradisional.