Minggu, 28 November 2010

Sebuah Catata Perjalanan Seputaran Meletusnya Merapai (1)

Kamis, (4/11) malam, menuju jam 00.00 WIB dini hari, saya dengan sekitar 5 teman saya baru saja pulang dari ritual wajib tiap malam menginjak jam Sembilan keatas, ngopi. Tidak ada firasat apapun malam itu, yang jelas waktu Merapi sangat eksplosif. Akan tetapi tidak ada firasat sama sekali bahwa malam itu adalah “puncaknya”. Beberapa teman asik dengan film lawas yang baru didapat oleh salah seorang teman, “Machete”, film sadis yang memerankan bejibun bintang film Hollywood.

Tidak lama menikmati prolog film, tiba-tiba ada ketokan pintu. Rupanya Ndro, dia memberitahu kami bahwa telah terjadi huhan kerikil yang begitu lebat. Penasaran. Kami langsung keluar, dan memang benar. Suara asbes di atas kami begitu riuh oleh gempuran kerikil yang kira-kira sebesar biji merica itu. Sekadar info bahwa letusan merapi malam itu merupakan letusan terbesar Merapi selama lebih dari satu abad. Bahkan jauh lebih besar dari ledakan sepuluh bulan gunung galunggung.

Rasa penasaran kami semakin membesar, “Di Sebelah Atmajawa—Univ.Atmajaya—mungkin terlihat kondisi Merapi. Kami bergegas ke sana. Hasilnya nihil. Keadaan ini semakin membuat rasa penasaran kami semakin menggebu, dan kami memutuskan untuk menuju jalan Affandi—dulu Gejayan—sambil mencari beberapa masker untuk persiapan. Merapi tetap saja tidak bisa dipantau dari Gejayan, namun kami bisa melihat kondisi yang lain, salah satunya adalah banyak pengungsi yang memilih untuk meninggalkan Jogja atas dan lebih memilih ke bawah. Kabarnya Posko pengungsian di UII juga dikosongkan, karena UII nyata-nyata telah menjadi sasaran empuk Hujan abu plus kerikil dini hari itu.

Dini hari ini menjadi begitu mencekam, karena semua orang terlihat sangat panic. Kabarnta banyak sekali korban mala mini. Awan Panas—yang lebih masyhur dengan Wedhus Gembel—dengan pongahnya melahap dan menyapu bersih sisa-sisa peradaban di sebagian besar kecamatan cangkringan, bahkan sampai radius 15 km dari Gunung Merapi.

Sangat ingin rasanya berbagi dan membantu para pengungsi Merapi yang lagi suka bergurau. Tapi beberapa pertanyaan dalam benak kami. “apa yang bisa kita bantu saat ini? Kita tidak berbekal banyak logistic. Mau membantu sebagai relawan kita tidak tahu seperti apa prosedurnya, malah-malah kita yang nantinya akan menjadi beban. Untuk itu, sementara ini kami menunggu perkembangan terlebih dahulu.

Esoknya, kami belum bisa berbuat apa-apa. Bahkan ketika itu muncul ide jahannam dari otak ini untuk melarikan diri ke Bantul, “mungkin akan lebih aman disana”, batinku menggerutu. Dan memang akhirnya saya memilih untuk pergi ke Bantul—tepatnya rumah Sjam. Akan tetapi saya sempat menitip pesan ke bebarap kawan, “jika memang nanti mau menjadi relawan dan tenaga saya dibutuhkan saya siap dikontak”, masih agak ragu.

Tepat pukul satu, setelah menunaikan solah jumat, saya melihat siaran TV bahwa GOR UNY sudah mulai digunakan sebagai posko pengungsian, dan tidak lama kemudian saya mendapat sms dari Irul bahwa Jogja butuh banyak relawan untuk menyalurkan logistic. Meski saya belum tahu mau membantu dimana. Bayangan saya waktu itu, minimal bisa mebantu di GOR lah. Sampai UNY, keadaan telah begitu ramai. Mahasiswa dari pelbagai latarbelakang jurusan terlihat telah begitu siap untuk mengabdikan diri atas nama kemanusiaan. Persiapan dasar logistic telah banyak terkumpul, tapi saya yakin itu akan sangat kekurangan nantinya. Masker sudah pada tergantung gagah di bagian bawah muka masing-masing relawan. Tersirat sebuah heroisme “ Mari Rapatkan barisan atas nama Humanisme”.

Saya, Sjam, Irul, dan Irul hanya ikut membatu, coordinator diserahkan sepenuhnya pada teman-teman baru. Ndro tidak bisa menemani kami, karena baru saja dapat info bahwa kakeknya baru saja dipanggil Sang Moho Agung menghadap.

Waktu rasanya lama sekali, kami ingin segera menjadi seorang relawan. Mungkin saja, waktu itu saja tiba-tiba menjadi seseorang humanis lagi moralis. Saya ingin membantu saudara, bahkan himbauan Emak dan Kakak saya untuk pulang kampung saya tolak. “Mak, Cak aku pengen ngewangi Arek-arek ne kene, njalok dongane sampean ae..”, bisik batinku kala itu.

Sekitar pukul lima sore kita menuju lokasi, SMP 2 Kalasan. Meski kabar masih simpang siur apakah ada pengungsi di sana, tapi kami tetap bertekad untuk pergi kesana. Sempat beberapa salah jalur dan salam tempat akhirnya kami sampai di lokasi itu. Akan tetapi sepanjang perjalanan hari saya sudah merasa tidak enak. “Mbah ketoe wes gak enek peradaban maneh ne kene”, kataku pada Sjam. Kembali ke SMP 2 Kalasan. Benar dugaanku dengan Sjam, SMP 2 telah nyata-nyata tergembok rapat, dan tanpa berfikir panjang lagi saya memutuskan untuk mengajak teman-teman segera turun. Asumsi saya waktu itu adalah kita tidak tahhu kemungkinan terbesarnya seperti apa, kita tidak ada yang tahu medan dan tidak ada yang membacking, selain itu berapa jarah SMP 2 Kalasan dengan Gunung Merapi? Itu pertanyaan besarku sama Sjam waktu itu.

Setelah diskusi kecil, kami memutuskan menyuplai barang ke posko pengungsian Klaten via Prambanan. Akan tetapi permasalah tidak berhenti sampai disitu saja. Adalah keegoisan teman-teman Ilmu sejarah yang bersikukuh membedakan tujuan pengiriman. Saya tidak berhak menyalahkan mereka, karena toh itu usaha mereka. Yang saya sesalkan kenapa tidak ada koordinasi sebelumnya, agar jelas kemana mau di drop barang-barang logistic itu.

Setelah berdebat panjang-lebar akhirnya diputuskan bahwa sebagian barang di kirim ke Klaten dan sebagian besar dibawa kembali ke Yogyakarta—baik itu di Paingan ataupun di Maguwo.

Menjadi orang yang menyembah pada nilai-nilai humanisme memang tidak semudah membalikkan tangan, segala sesuatu ada saja rintangannya. Tabik!

Uny, wi-fi dan egoism

Beberapa hari yang lalu, ketika saya melewati Garden Café (GC)—Café punya UNY—tidak tahu kenapa saya tertarik mengamati beberapa orang yang sedang duduk-duduk di beberapa kursi yang disediakan café itu, sebagian juga ada yang lesehan. Tidak seperti biasa, yang agak cuek mengamati GC, kali ini aku begitu memperhatikan pemandangan di beberapa sudut GC itu. Orang-orang terlihat begitu khusu’, bukan karena mereka sedang berdzikit atau bermunajat kepada Tuhan-tuhan mereka, melainkan mereka khusu’ dengan tidak hentinya tangan mereka memainkan kurson laptop-laptop di depan mereka.

Dalam hati, muncul sedikit nada bangga dengan fenomena ini. Bagaimana tidak? Nampaknya kita sudah lagi terjangkit virus-virus gaptek, karena ternyata sudah banyak mahasiswa UNY yang megang laptop—dalam artian sudah pada punya laptop. Namun ada hal aneh yang juga saya tangkap dari sekilas pengamatan saya. Yaitu GC terlihat sepi, tidak ada cengkrama antara satu dengan yang lain, tidak ada diskusi kere, dan tidak ada saling sapa dan tutur. Semuanya terlarut dalam ruangan semu yang bernama internet.

Sekitar tiga tahun yang lalu—kalau aku tidak lupa—UNY marak sekali isu wi-fi, jadi dimana-mana, di antero sudut UNY akan bisa digunakan untuk internetan. Sontak, ini menjadi berita bahagia bagi mereka yang biasa berselancar ke dunia maya, termasuk saya tentunya. Caranya pun mudah, tinggal datang ke (Pusat Komputer) PUSKOM UNY, kita registrasi di sana. Akan tetapi berbeda halnya dengan yang tidak megang laptop—salah satunya saya—karena hanya bisa mlongo, tidak jelas.

Sebenarnya buka itu masalahnya—kasihan bagi yang tidak punya laptop—melainkan ada dampak jangka panjang lain, yang saya kita akan mengancam ekosistem kehidupan kampus UNY. UNY satauku ketika pertama datang ke Jogja adalah representasi kampus menengan ke bawah semacam saya, kini nampaknya mulai beranjak dari status itu. Selain itu adalah semakin berkurangnya budaya ngobrol di kalangan Mahasiswa. Mereka lebih asik berselancar dengan teman-teman maya mereka, dari pada menolong temannya yang jatuh terpelese lantai yang habis dipel oleh cleaning servis. Nampaknya, hawa-hawa egoisme mulai menjangkiti mahasiswa UNY. Ada ruang baru yang telah mereka ciptakan di balik semakin menyempitnya ruang-ruang diskusi bagi mahasiswa.

Rabu, 17 November 2010

Senja di Warung Kopi

Senin kemaren merupakan rekorku terlama di warung kopi. Terhitung sejak pukul 16.00 sore hari sampai tutupnya warung kopi itu, yaitu sekitar pukul 00.00 dini hari. Delapan jam aku di warung kopi—seharusnya ini adalah jam ideal untuk istirahat. Memang tidak ada yang tidak menarik bagiku sesuatu hal yang berhubungan dengan kopi dan warung kopi. Hampir setiap malam saya menghabiskan waktu di warung kopi, tentunya tidak menafikkan kewajiban terakhirku, Skripsi.

Namun, hari itu memang hari yang sangat nyaman untuk sekadar menghabiskan waktu di warung kopi. Sekitar pukul tiga sore, saya mengajak salah seorang kawanku untuk ngopi, dan dia menyetujuinya. Untuk meramaikan suasana, kami mengajak satu teman lagi. Pertamanya teman kami itu agak kaget dengan ajakan kami ngopi di “sore” hari, mungkin kesannya cukup aneh. “ngopi kok sore, ngopi ya malam”, mungkin berontak batinnya kala itu.

Ngopi di sore hari merupakan hal yang sangat aneh, dan jarang ditemui di Yogyakarta. Selain karena budaya ngopi di Yogya yang masih sangat baru, kopi juga sangat identik dengan begadang, dan begadang identik dengan malam. Namun tidak untuk daerahku. Sebuah daerah yang terletak di pesisir utara Jawa Timur, dimana budaya ngopi laiknya budaya mandi, tiga kali sehari. Dan itu menular di warung kopi ini. Biasanya kami pergi ngopi sekitar jam 9 pagi, jam 4 sore dan sekitar habis jamaah sholat isya’. Dipilihnya waktu itu mungkin itu merupakan jam-jam yang cukup santai.

Kembali ke peristiwa hari senin. Sepanjang sore sampai dini hari itu saya seorang temanku hanya menghabiskan masing-masing satu cangkir kopi, dua bungkus nasi kucing, satu gelas es the, dan terkhusus temanku, beberapa batang rokok—saya masih alergi asap rokok. Hahahahah…. Awalnya kami hanya bertiga, setelah menjelang magrib salah seorang kawan datang, dan akhirnya kita menjadi berempat. Namun, tidak berselang lama, dua dari kami memutuskan untuk kembali ke kampus barang sejenak. “Aku enek acara sek cok”, kata mereka berdua kira-kira.

Kini tinggal kami berdua, saya dan teman saya, sebut saja namanya Sjam. “smsen arek2 mbah”, kataku. Si Mbah—panggilan akrab Sjam—segera mengirim sms ke Spy. “oke, entenono teko ku”, balas Spy dengan bahasa SMS khasnya. Lama kami menunggu kedatangan Spy. “jancok..” umpat Sjam dengan logat Yogya yang masih sangat kental. Tidak beberapa lama kemudian akhirnya Spy muncul juga. Dia tidak sendirian. Di sampingnya berjalan tegap Ndro—yang katanya punya darah kejawen, dan saya punya darah biru.

Tidak lama kemudian ada SMS dari All, “cah-cah masih di sana gak Mas?”, tulisnya dengan sedikit manja.

“masih..”, kataku—tapi tidak manja.

Semakin malam, gerombolan kami semakin banyak, yang awalnya Cuma berdua kini terus bertambah. Ada Jomblang, Ucok, dan juga Irul bersama dua teman cewek—yang juga temanku—Encik dan Noor. Karena semakin banyak orang, obrolan pun nampaknya semakin menarik dan riuh. Jomblang tidak henti-hentinya memainkan cocot busuknya. Ucok sedari tadi hanya tersenyum, seperti biasa. Sjam sibuk mengirim sms ke beberapa nomer cewek yang ada dalam listnya. Selain itu Spy nampaknya lagi banyak masalah. Rencana yang dia targetkan beberapa hari ini nampaknya gagal total. Dan saya, masih memikirkan kapan rampung.

Selain kejadian-kejadian unik di gerombolan kami, saya juga menangkap pelbagai fenomena di warung kopi favorit kami. Banyak teman-teman gerakan dengan kaos khasnya yang asik bercengkrama. Mungkin saja mereka akan melakukan mogok makan esoknya, dan sekarang mereka merancang teknik di lapangan besok. Di pojokan beberapa pemuda asik juga dengan kartu yang dia genggam.

Di sudut lain ada yang lagi merasakan syahdunya berkasih-kasih dengan sang pacar. Mata ini juga menangkap sepasang pasangan yang nampaknya lagi kesandung masalah. Si cowok terlihat cuek dengan sebatang rokok terselip di jari, sedangkan si cewek terlihat terus mengomel dan nyerocos kepada cowoknya. Nampaknya mereka sedang ditimpa virus ketidakcocokan dan ketidaknyamanan. Hahahaha…

Banyak juga anak-anak SMA yang menghabiskan malamnya dan memilih untuk ngedate bersama pasangannya di warung kopi ini. “ah, rupanya mereka sudah pada berubah paradigmanya untuk memilih tempat kencan”, batinku.

Ah, biarkan saja. Terserah apa maunya mereka yang ada di warung kopi. Toh tujuan utamanya adalah ngopi, jadi biarlah mereka berkreasi dengan kopi dan warungnya. Sungguh nikmat menghabiskan hari di warung kopi. Apalagi di kala senja mulai menyapa seraya berucap “Daaaa”

MERAPI DAN KEMANUSIAAN part 2

Setelah seharian libur mengadbi atas nama kemanusiaan, sabtu malam Irul—salah seorang teman saya—mempunyai rencana untuk memberi bantuan kepada salah seorang teman satu kelasnya di kampus. Awalnya rencana ini hanya ditujukan kepada teman-teman satu angkatan dan satu kelasnya saja, namun karena berbagai alasan maka dia akhirnya memutuskan untuk mengajak kawan yang lain dalam kegiatan ini. Yang bisa menyempatkan waktu bisa langsung ikut menengok keadaan temannya tadi di barak pengungsian Lapangan Tembak Magelang, yang tidak bisa datang cukup melekatkan beberapa lembar rupiah dan tentunya tidak lupa doa. Salah satu teman yang diajak waktu itu adalah saya.

Minggu, 7 November 2010, tiga hari menjelang hari Pahlawan, tiga hari sebelum kedatangan Obama (kalau jadi datang), 12 hari setelag letusan pertama Merapi dan 2 hari setelah letusan terbesar Merapi sepanjang lebih dari satu abab, saya dan tiga teman memutuskan untuk pergi ke Salaman. Ke subuah barak pengunsian yang dilokasikan persis di lapangan tembak magelang.

Seperti halnya tempat-tempat pengungsian yang lain,barak lapangan tembak juga kelihatan ricuh dan ramai. Namn, barak ini nampak berbeda karena hampir sebagian besar relawannya adalah berasal dari korps marinir. “lek ne kene hampir kebutuhan logistik terpenuhi, dan penangan seluruhnya dipegang oleh mereka yang berbaret merah”, tegas keceng, salah satu pengungsi dari keluraha srumbung, magelang.

Banyak sekali catatan-catatan penting yang saya kumpulkan dari perjalan antara kota Yogyakarta dengan Magelang, terkhusus Salaman. Perjalana yang biasanya memakan waktu kurang dari satu jam, terasa sangat lama. Beberapa saat setelah keluar dari kecamatan Tempel, Sleman, Yogyakarta, saya langsung dihadapkan dengan kota Salam yang keadaanya sudah begitu parah. Secara letak geografis kota ini terletak relativ jauh dari Merapi, akan tetapi angin yang sering berhembus ke barat telah membawa ratusan kubik debu dan pasir merapi yang keluar bebarengan ketika Merapi meletus. Keadaan yang tidak jauh berbeda adalah kota Muntilan, keadaannya sangat parah. Jalan aspal yang biasanya terlihat sangat mulus kali ini harus tertutup oleh tebalnya pasir yang sudah kadung menggumpal karena guyuran air hujan yang nanggung. Sekitar lima sampai sepuluh senti tebal pasir diatas aspal, dan itu sangat mengganggu tranportasi yang menghubungkan Yogyakarta, Magelang dan daerah-daerah sekitarnya, termasuk Semarang dan Wonosobo.

Speedometer melulu menunjukkan angka makimal 40 km/jam. Lebih dari itu resiko ditanggung pengendara. Selain itu jarak pandang mata juga sangat terganggu dengan sisa abu vulkanik yang mengguyur kota Magelang tempo hari. Semuanya serba terbatas. Jalan yang seharusnya sangat lebar—karena empat ruas—terasa satu ruas saja, aspal yang dasarnya halus harus mengalah dengan pasir yang menindihnya.

Kota Seribu Pengungsi

Sepanjang Salam-Muntilan, mata saya tidak pernah luput dari banyaknya pengungsi yang ada di kota itu. Pada dasarnya tidak ada tempat yang benar-benar layak dijadikan tempat pengungsian di Magelang. Dari ujung timur sampai pelosok barak Magelang semuanya terguyur abu yang sangat tebal. Oleh karena itu, barak pengungsian yang ada juga kondisinya benar-benar tidak layak.

Lebih dari sepuluh barak pengungsian yang saya jumpai sepanjang dua kecatamana pembatas Magelang dengan Yogyakatarta itu. Dan kesemuanya kondisinya sungguh memprihatinkan. Mata relawan masih tertuju kepada Jogya, padahal di Muntilan juga masih sangat membutuhkan tenaga waktu itu.

Kondisi juga diperparah oleh luapan lahar dingin yang memenuhi bantaran kali Krasak. Sehingga banyak pengungsi yang kemudian dipindahkan ke beberapa wilayah di Sleman dan Kulonprogo.

Relokasi Borobudur

Mata saya juga tertuju pada Sebuah bangunan agung menjulang tinggi diantara perbukitan Menoreh. Sebuah banguna yang dibangun di masa dinasti Sailendra, Borobudur. Menurut berita yang lihat di TV, Borobudur tertutup abu setelah 30 sentimeter—semoga ini tidak salah. Selain itu, kondisi diperparah dengan luluhlantaknya pertamanan yang menghiasi eloknya Borobudur. Panorama hijau Boronbudur seketika itu berubah bak sebuah daerah mati yang habis diserbu oleh sepasukan Alien dari luar angkasa. Semuanya serba abu-abu.

Nampaknya ini akan menjadi pekerjaan rumah pemkab Magelang dalam mengembalikan ikon Borobudur sebagai lambang wisata Indonesia. Dalam beberapa artikel saya sempat membaca bahwa turis mengenal hanya dari 3B;Borobudur, Bromo dan Bali. Dan Borobudur telah sakit, dalam artian butuh waktu yang cukup lama untuk kembali merelokasi tempat wisata andalak keluarga ini.

Kota Mati, Lalulintas tetap Jalan

Setelah hampir setengah hari di barak pengungsian Lapangan Tembak, saya kembali ke Yogyakarta. Selain mendapatkan beberapa pengendara motor yang terjatuh akibat jalan yang tidak bersahabat lagi, saya juga mengamati kondisi kota Muntilan dan Salam malam hari. Gelap gulita. Tidak ada listrik yang menerangi, tentunya tidak ada manusia yang menghuni. Saya kurang tahu, apakah ini kebijakan pemerintah daerah setempat untuk mematikan listrik, ataukah memang di ruham-rumah yang tersebar sepanjang jalan itu sudah ditinggal oleh penghuninya. Cahaya hanya saya dapatkan di bebepa SPBU di kota itu, itupun tidak semua.

Meskipun demikian, kondisi ini tidak mempengaruhi keadaan lalu lintasnya. Kendaraan-kendaraan yang melintasi masih ramai seperti biasa, tetapi dengan kecematan jauh dari biasa.

MERAPI DAN KEMANUSIAAN (PART 1)

Kamis, (4/11) malam, menuju jam 00.00 WIB dini hari, saya dengan sekitar 5 teman saya baru saja pulang dari ritual wajib tiap malam menginjak jam Sembilan keatas, ngopi. Tidak ada firasat apapun malam itu, yang jelas waktu Merapi sangat eksplosif. Akan tetapi tidak ada firasat sama sekali bahwa malam itu adalah “puncaknya”. Beberapa teman asik dengan film lawas yang baru didapat oleh salah seorang teman, “Machete”, film sadis yang memerankan bejibun bintang film Hollywood.

Tidak lama menikmati prolog film, tiba-tiba ada ketokan pintu. Rupanya Ndro, dia memberitahu kami bahwa telah terjadi huhan kerikil yang begitu lebat. Penasaran. Kami langsung keluar, dan memang benar. Suara asbes di atas kami begitu riuh oleh gempuran kerikil yang kira-kira sebesar biji merica itu. Sekadar info bahwa letusan merapi malam itu merupakan letusan terbesar Merapi selama lebih dari satu abad. Bahkan jauh lebih besar dari ledakan sepuluh bulan gunung galunggung.

Rasa penasaran kami semakin membesar, “Di Sebelah Atmajawa—Univ.Atmajaya—mungkin terlihat kondisi Merapi. Kami bergegas ke sana. Hasilnya nihil. Keadaan ini semakin membuat rasa penasaran kami semakin menggebu, dan kami memutuskan untuk menuju jalan Affandi—dulu Gejayan—sambil mencari beberapa masker untuk persiapan. Merapi tetap saja tidak bisa dipantau dari Gejayan, namun kami bisa melihat kondisi yang lain, salah satunya adalah banyak pengungsi yang memilih untuk meninggalkan Jogja atas dan lebih memilih ke bawah. Kabarnya Posko pengungsian di UII juga dikosongkan, karena UII nyata-nyata telah menjadi sasaran empuk Hujan abu plus kerikil dini hari itu.

Dini hari ini menjadi begitu mencekam, karena semua orang terlihat sangat panic. Kabarnta banyak sekali korban mala mini. Awan Panas—yang lebih masyhur dengan Wedhus Gembel—dengan pongahnya melahap dan menyapu bersih sisa-sisa peradaban di sebagian besar kecamatan cangkringan, bahkan sampai radius 15 km dari Gunung Merapi.

Sangat ingin rasanya berbagi dan membantu para pengungsi Merapi yang lagi suka bergurau. Tapi beberapa pertanyaan dalam benak kami. “apa yang bisa kita bantu saat ini? Kita tidak berbekal banyak logistic. Mau membantu sebagai relawan kita tidak tahu seperti apa prosedurnya, malah-malah kita yang nantinya akan menjadi beban. Untuk itu, sementara ini kami menunggu perkembangan terlebih dahulu.

Esoknya, kami belum bisa berbuat apa-apa. Bahkan ketika itu muncul ide jahannam dari otak ini untuk melarikan diri ke Bantul, “mungkin akan lebih aman disana”, batinku menggerutu. Dan memang akhirnya saya memilih untuk pergi ke Bantul—tepatnya rumah Sjam. Akan tetapi saya sempat menitip pesan ke bebarap kawan, “jika memang nanti mau menjadi relawan dan tenaga saya dibutuhkan saya siap dikontak”, masih agak ragu.

Tepat pukul satu, setelah menunaikan solah jumat, saya melihat siaran TV bahwa GOR UNY sudah mulai digunakan sebagai posko pengungsian, dan tidak lama kemudian saya mendapat sms dari Irul bahwa Jogja butuh banyak relawan untuk menyalurkan logistic. Meski saya belum tahu mau membantu dimana. Bayangan saya waktu itu, minimal bisa mebantu di GOR lah. Sampai UNY, keadaan telah begitu ramai. Mahasiswa dari pelbagai latarbelakang jurusan terlihat telah begitu siap untuk mengabdikan diri atas nama kemanusiaan. Persiapan dasar logistic telah banyak terkumpul, tapi saya yakin itu akan sangat kekurangan nantinya. Masker sudah pada tergantung gagah di bagian bawah muka masing-masing relawan. Tersirat sebuah heroisme “ Mari Rapatkan barisan atas nama Humanisme”.

Saya, Sjam, Irul, dan Irul hanya ikut membatu, coordinator diserahkan sepenuhnya pada teman-teman baru. Ndro tidak bisa menemani kami, karena baru saja dapat info bahwa kakeknya baru saja dipanggil Sang Moho Agung menghadap.

Waktu rasanya lama sekali, kami ingin segera menjadi seorang relawan. Mungkin saja, waktu itu saja tiba-tiba menjadi seseorang humanis lagi moralis. Saya ingin membantu saudara, bahkan himbauan Emak dan Kakak saya untuk pulang kampung saya tolak. “Mak, Cak aku pengen ngewangi Arek-arek ne kene, njalok dongane sampean ae..”, bisik batinku kala itu.

Sekitar pukul lima sore kita menuju lokasi, SMP 2 Kalasan. Meski kabar masih simpang siur apakah ada pengungsi di sana, tapi kami tetap bertekad untuk pergi kesana. Sempat beberapa salah jalur dan salam tempat akhirnya kami sampai di lokasi itu. Akan tetapi sepanjang perjalanan hari saya sudah merasa tidak enak. “Mbah ketoe wes gak enek peradaban maneh ne kene”, kataku pada Sjam. Kembali ke SMP 2 Kalasan. Benar dugaanku dengan Sjam, SMP 2 telah nyata-nyata tergembok rapat, dan tanpa berfikir panjang lagi saya memutuskan untuk mengajak teman-teman segera turun. Asumsi saya waktu itu adalah kita tidak tahhu kemungkinan terbesarnya seperti apa, kita tidak ada yang tahu medan dan tidak ada yang membacking, selain itu berapa jarah SMP 2 Kalasan dengan Gunung Merapi? Itu pertanyaan besarku sama Sjam waktu itu.

Setelah diskusi kecil, kami memutuskan menyuplai barang ke posko pengungsian Klaten via Prambanan. Akan tetapi permasalah tidak berhenti sampai disitu saja. Adalah keegoisan teman-teman Ilmu sejarah yang bersikukuh membedakan tujuan pengiriman. Saya tidak berhak menyalahkan mereka, karena toh itu usaha mereka. Yang saya sesalkan kenapa tidak ada koordinasi sebelumnya, agar jelas kemana mau di drop barang-barang logistic itu.

Setelah berdebat panjang-lebar akhirnya diputuskan bahwa sebagian barang di kirim ke Klaten dan sebagian besar dibawa kembali ke Yogyakarta—baik itu di Paingan ataupun di Maguwo.

Menjadi orang yang menyembah pada nilai-nilai humanisme memang tidak semudah membalikkan tangan, segala sesuatu ada saja rintangannya. Tabik!

Hewan Kurban dan Mejid Kulon

beberapa saat setelah khotib resmi menutup khotbahnya, dan menandakan solat idul adha secara resmi selesaia, saya dan beberapa teman langsung lari menuju arah masjid--yang sering kami sebut dengan sebuat Mejid Kulon. Hanya satu hal yang menjadi tujuan kami kala itu, yaitu mengetahui seberapa banyak hewan kurban yang telah tersedia di halaman masjid. Tidak hanya sebatas itu, kami juga mencari informasi di masjdi sebelah--untuk yang ini kami sering namai dengan sebutan Mejid Etan, sudah berapa banyak hewan kurban yang menggelayut di pagar-pagar seputaran masji. Hal ini kami lakukan hampir setiap tahun.

sebelum lebih jauh bercerita, saya akan menjelaskan kenapa kami memberi istilah dua masjid yang saling bersebelahan itu dengan istilah-istilah aneh seperti itu. Di desa kami--desa yang relatif sangat kecil luas wilayah administratfinya--terdapat dua golongan besar--sebenarnya bukan sama besar, tapi jomplang--yang masing-masing mencoba melancarkan dominasi mereka. Salah satunya adalah dengan media masjid. Meskipun desa kami kacil, namun tidak demikian dengan masjid-masjid di desa kami. Kalau pembaca pernah berkunjung di kampus Universitas Negeri Yogyakarta, dan pernah melihat ukuran masjid di dalamnya, maka seperti itulah kira-kira besarnya masing-masing masjid di desa kami.

Terdapat dua masjid, dan puluhan mushola, kesemuanya tersebar di pelbagai sudut desa kami. Terutama masjid, keduanya saling bersaing pengaruh dan kharisma. Bahkan persaiangan bentuk bangunan juga tidak terelakkan. Ketika mejid kulon menambah jumlah bangunan,maka mejid etan sebisa mungkin akan mengikutinya. Pun sebaliknya, jika mejid etan menambah bangunan atau hiasan pada masjidnya, maka mejid kulon sudah barang tentu akan menyaingi keindahan masjid saingannya itu.

Dua masjid itu punya dua golongan besar yang sudah saya jelaskan pada paragraf-paragraf awal tadi. Dan bahkan untuk selanjutnya kedua masjid itu menjadi sebuah simbol penamaan bagi para pengikut fanatiknya. semisal, "ah sampean wong mejid etan", atau " la sampean wong mejid kulon lapo dolan ne kene (mejid etan).

Pada awalnya penamaan kedua masjid itu karena letak masjid-masjid itu. Mejid kulon, karena berada di barat jalan, dan mejid etan, karena berada di sebelah timur jalan utama desa saya. Meskipun demikian, kedua masjid itu terletak tidak saling berjauhan. Kira-kira jarak antar kedua masjid itu adalah 40 meter-an. Meskipun demikian, secara idiologis jaraknya bisa berkisar ratusan kilo meter.

Kembali ke hewan kurban. masjid saya--Mejid Kulon--seperti tahun-tahun sebelumnya paling banyak hanya ada sekitar 9 kambing. Sapi, mungkin sepuluh tahun sekali. Bahkan, sejauh pengetahuan saya, pernaj suatu ketika hewan kurban di depan masjid cuma ada tiga ekor saja. Sangat tidak seimbang jika dibandingkan dengan perolehan hewan kurban di mejid etan, lebih dari duapuluh ekor itu jelas. Dan satu lagi, selalu ada Sapi di setiap kurbannya. Itu menjadi bahan paling manjur untuk mengolok-ngolok kami, para simpatisan mejid kulon.