Minggu, 28 November 2010

Sebuah Catata Perjalanan Seputaran Meletusnya Merapai (1)

Kamis, (4/11) malam, menuju jam 00.00 WIB dini hari, saya dengan sekitar 5 teman saya baru saja pulang dari ritual wajib tiap malam menginjak jam Sembilan keatas, ngopi. Tidak ada firasat apapun malam itu, yang jelas waktu Merapi sangat eksplosif. Akan tetapi tidak ada firasat sama sekali bahwa malam itu adalah “puncaknya”. Beberapa teman asik dengan film lawas yang baru didapat oleh salah seorang teman, “Machete”, film sadis yang memerankan bejibun bintang film Hollywood.

Tidak lama menikmati prolog film, tiba-tiba ada ketokan pintu. Rupanya Ndro, dia memberitahu kami bahwa telah terjadi huhan kerikil yang begitu lebat. Penasaran. Kami langsung keluar, dan memang benar. Suara asbes di atas kami begitu riuh oleh gempuran kerikil yang kira-kira sebesar biji merica itu. Sekadar info bahwa letusan merapi malam itu merupakan letusan terbesar Merapi selama lebih dari satu abad. Bahkan jauh lebih besar dari ledakan sepuluh bulan gunung galunggung.

Rasa penasaran kami semakin membesar, “Di Sebelah Atmajawa—Univ.Atmajaya—mungkin terlihat kondisi Merapi. Kami bergegas ke sana. Hasilnya nihil. Keadaan ini semakin membuat rasa penasaran kami semakin menggebu, dan kami memutuskan untuk menuju jalan Affandi—dulu Gejayan—sambil mencari beberapa masker untuk persiapan. Merapi tetap saja tidak bisa dipantau dari Gejayan, namun kami bisa melihat kondisi yang lain, salah satunya adalah banyak pengungsi yang memilih untuk meninggalkan Jogja atas dan lebih memilih ke bawah. Kabarnya Posko pengungsian di UII juga dikosongkan, karena UII nyata-nyata telah menjadi sasaran empuk Hujan abu plus kerikil dini hari itu.

Dini hari ini menjadi begitu mencekam, karena semua orang terlihat sangat panic. Kabarnta banyak sekali korban mala mini. Awan Panas—yang lebih masyhur dengan Wedhus Gembel—dengan pongahnya melahap dan menyapu bersih sisa-sisa peradaban di sebagian besar kecamatan cangkringan, bahkan sampai radius 15 km dari Gunung Merapi.

Sangat ingin rasanya berbagi dan membantu para pengungsi Merapi yang lagi suka bergurau. Tapi beberapa pertanyaan dalam benak kami. “apa yang bisa kita bantu saat ini? Kita tidak berbekal banyak logistic. Mau membantu sebagai relawan kita tidak tahu seperti apa prosedurnya, malah-malah kita yang nantinya akan menjadi beban. Untuk itu, sementara ini kami menunggu perkembangan terlebih dahulu.

Esoknya, kami belum bisa berbuat apa-apa. Bahkan ketika itu muncul ide jahannam dari otak ini untuk melarikan diri ke Bantul, “mungkin akan lebih aman disana”, batinku menggerutu. Dan memang akhirnya saya memilih untuk pergi ke Bantul—tepatnya rumah Sjam. Akan tetapi saya sempat menitip pesan ke bebarap kawan, “jika memang nanti mau menjadi relawan dan tenaga saya dibutuhkan saya siap dikontak”, masih agak ragu.

Tepat pukul satu, setelah menunaikan solah jumat, saya melihat siaran TV bahwa GOR UNY sudah mulai digunakan sebagai posko pengungsian, dan tidak lama kemudian saya mendapat sms dari Irul bahwa Jogja butuh banyak relawan untuk menyalurkan logistic. Meski saya belum tahu mau membantu dimana. Bayangan saya waktu itu, minimal bisa mebantu di GOR lah. Sampai UNY, keadaan telah begitu ramai. Mahasiswa dari pelbagai latarbelakang jurusan terlihat telah begitu siap untuk mengabdikan diri atas nama kemanusiaan. Persiapan dasar logistic telah banyak terkumpul, tapi saya yakin itu akan sangat kekurangan nantinya. Masker sudah pada tergantung gagah di bagian bawah muka masing-masing relawan. Tersirat sebuah heroisme “ Mari Rapatkan barisan atas nama Humanisme”.

Saya, Sjam, Irul, dan Irul hanya ikut membatu, coordinator diserahkan sepenuhnya pada teman-teman baru. Ndro tidak bisa menemani kami, karena baru saja dapat info bahwa kakeknya baru saja dipanggil Sang Moho Agung menghadap.

Waktu rasanya lama sekali, kami ingin segera menjadi seorang relawan. Mungkin saja, waktu itu saja tiba-tiba menjadi seseorang humanis lagi moralis. Saya ingin membantu saudara, bahkan himbauan Emak dan Kakak saya untuk pulang kampung saya tolak. “Mak, Cak aku pengen ngewangi Arek-arek ne kene, njalok dongane sampean ae..”, bisik batinku kala itu.

Sekitar pukul lima sore kita menuju lokasi, SMP 2 Kalasan. Meski kabar masih simpang siur apakah ada pengungsi di sana, tapi kami tetap bertekad untuk pergi kesana. Sempat beberapa salah jalur dan salam tempat akhirnya kami sampai di lokasi itu. Akan tetapi sepanjang perjalanan hari saya sudah merasa tidak enak. “Mbah ketoe wes gak enek peradaban maneh ne kene”, kataku pada Sjam. Kembali ke SMP 2 Kalasan. Benar dugaanku dengan Sjam, SMP 2 telah nyata-nyata tergembok rapat, dan tanpa berfikir panjang lagi saya memutuskan untuk mengajak teman-teman segera turun. Asumsi saya waktu itu adalah kita tidak tahhu kemungkinan terbesarnya seperti apa, kita tidak ada yang tahu medan dan tidak ada yang membacking, selain itu berapa jarah SMP 2 Kalasan dengan Gunung Merapi? Itu pertanyaan besarku sama Sjam waktu itu.

Setelah diskusi kecil, kami memutuskan menyuplai barang ke posko pengungsian Klaten via Prambanan. Akan tetapi permasalah tidak berhenti sampai disitu saja. Adalah keegoisan teman-teman Ilmu sejarah yang bersikukuh membedakan tujuan pengiriman. Saya tidak berhak menyalahkan mereka, karena toh itu usaha mereka. Yang saya sesalkan kenapa tidak ada koordinasi sebelumnya, agar jelas kemana mau di drop barang-barang logistic itu.

Setelah berdebat panjang-lebar akhirnya diputuskan bahwa sebagian barang di kirim ke Klaten dan sebagian besar dibawa kembali ke Yogyakarta—baik itu di Paingan ataupun di Maguwo.

Menjadi orang yang menyembah pada nilai-nilai humanisme memang tidak semudah membalikkan tangan, segala sesuatu ada saja rintangannya. Tabik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar