Senin, 31 Mei 2010

NASIONALISME PAPUA TIDAK SAMA DENGAN NASIONALISME INDONESIA


Nasionalisme bukanlah sesuatu yang begitu saja jatuh dari langit. Ada akar historisnya. Ironisnya, akar historisnya tidak jarang bermula dari sejarah kolonial, walaupun nasionalisme pada hakekatnya bersifat anti-kolonial. Begitu pula nasionalisme Indonesia. Ketika para pendiri Republik ini bersepakat menganggap negara-bangsa yang akan didirikannya merupakan pewaris koloni Hindia Belanda, dan dengan demikian akan mematuhi batas-batas wilayahnya, sesungguhnya mereka memaksa bangsa ini mewarisi kerakusan Belanda. Kesepakatan itu merupakan kompromi para pendiri Republik ini menghadapi pragmatisme Hatta, yang mengusulkan supaya Papua Barat tidak dimasukkan, serta ekspansionisme Yamin, yang ingin memasukkan seluruh wilayah yang dihuni bangsa-bangsa rumpun Melayu.

 

KMB juga merupakan awal sejarah lahirnya nasionalisme Papua. Tapi sebelumnya, kita perlu fahami lebih dahulu dasar historis nasionalisme itu. Menurut para nasionalis Papua, kampung halaman mereka begitu saja diklaim sebagai wilayah Hindia Belanda hanya karena sebelumnya diklaim sebagai wilayah jajahan Sultan Tidore. Jadinya, ketika Sultan Tidore menyatakan tunduk pada kekuasaan Belanda, otomatis seluruh daerah yang diklaim sebagai wilayah jajahan Sultan Tidore, dinyatakan sebagai daerah Hindia Belanda. Tentu saja itu terjadi, tanpa meminta persetujuan rakyat Papua Barat itu sendiri.

 

Selanjutnya, karena para pendiri Republik Indonesia menganggap bahwa mereka merupakan pewaris yang sah dari wilayah Hindia Belanda, otomatis rakyat Papua Barat dialihkan status hukumnya dari onderdaan (bawahan) Kerajaan Belanda menjadi warganegara Indonesia. Begitulah klaim pemerintah RI di Jakarta, yang didukung mayoritas rakyat Indonesia. Belanda sendiri baru mau melepaskan kontrolnya atas wilayah Papua Barat akibat intervensi Presiden AS JF Kennedy lewat diplomatnya, Ellsworth Bunker, dalam perjanjian segitiga antara Belanda, Indonesia, dan AS di New York, pada 15 Agustus 1962.

 

Setelah masa transisi kurang dari setahun, di bawah pemerintahan transisi PBB, daerah ini, yang oleh Indonesia diberi nama Irian Barat, pada 1 Mei 1963 dinyatakan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Retorika yang sengaja dikembangkan untuk membuat sesuatu yang tidak alamiah, terasa alamiah. Yang kurang disadari oleh penguasa baru, yang serta merta mengganti nama ibukota Irian Barat dari Hollandia menjadi Sukarnapura, kemudian Jayapura, dalam kurun waktu 12 tahun, suatu faham kebangsaan yang lain telah dipupuk Belanda di sana. Suatu nasionalisme, yang tidak berkiblat ke Jakarta maupun ke Den Haag, melainkan ke dalam. Bukan ke Asia atau ke Eropa, melainkan ke Pasifik Selatan, mengingat Papua Barat di bawah penjajahan Belanda menjadi anggota Forum Pasifik Selatan bersama Australia, Aotearoa (Selandia Baru), Papua New Guinea, dan semua negara dan koloni di kawasan Pasifik Selatan.

 

Nasionalisme Papua Barat, yang dideklarasikan dengan pengibaran bendera Sang Bintang Kejora sejajar dengan bendera Merah-Putih-Biru di seluruh negeri itu, pada 1 November 1961. Selain bendera itu, simbol-simbol kebangsaan lainnya adalah lagu nasional, Hai Tanahku, Papua,  dan penggantian nama Nederlands Nieuw Guinea (Nieuw Guinea Belanda) menjadi Papua Barat. Bahkan untuk melicinkan proses dekolonisasi itu, Belanda telah membentuk semacam parlemen yang mayoritas beranggotakan orang-orang Papua, serta embrio tentara nasional yang disebut Korps Sukarelawan Papua alias Batalyon Papua.

 

Harapan untuk menjadi negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh dibuyarkan oleh Perjanjian New York serta masuknya pemerintah Indonesia , lengkap dengan tentara, guru, dan pedagangnya,  di bumi cenderawasih, bahkan ketika daerah itu masih berada di bawah pemerintahan transisi PBB, UNTEA. Inkorporasi ke dalam wilayah RI menjadi semakin traumatis, ketika semua simbol kebangsaan Papua Barat, lagu, bendera, bahkan nama Papua Barat,  dinyatakan terlarang. Satu-satunya institusi nasionalis yang tersisa, yakni Batalyon Papua, dipaksa meletakkan senjata atau melebur ke TNI di bawah komando almarhum Sarwo Edhie. Maka meledaklah pemberontakan bersenjata pertama di Manokwari, 26 Juli 1965, oleh para serdadu Batalyon Papua yang didukung oleh politikus senior asal Manokwari, Johan Ariks. Penyerangan yang gagal terhadap tangsi TNI di Manokwari, namun merembet ke seluruh wilayah Kepala Burung itulah yang lazim dianggap sebagai hari lahirnya Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua Barat.  Nama panjang itu kemudian disingkat pihak aparat keamanan dan kejaksaan Indonesia menjadi Organisasi Papua Merdeka, disingkat OPM, singkatan yang kemudian populer di seluruh kalangan nasionalis Papua.

 

Terlepas dari konflik-konflik bersenjata kecil-kecilan di sana-sini, tahun-tahun berikutnya para nasionalis Papua berusaha mengkonsolidasi diri menghadapi Penentuan Pendapat Rakyat yang menurut Perjanjian New York harus diselenggarakan Indonesia di bawah pengawasan PBB, tahun 1969. Ironisnya, benih-benih nasionalisme Papua Barat sementara itu merembet dari para serdadu didikan Belanda ke para mahasiswa Universitas Cenderawasih didikan Indonesia.  Sejumlah mahasiswa Uncen, di bawah pimpinan almarhum Arnold Ap, mulai sering berdemonstrasi menuntut kemerdekaan Papua Barat.  Demonstrasi-demonstrasi yang sering dipicu oleh ulah para tentara dan birokrat Indonesia, yang tanpa malu-malu mengangkut barang-barang mewah peninggalan Belanda seperti kulkas dan mesin cuci listrik -- ke tempat asal mereka.

 

Makin dekat Hari-H penyelenggaraan Pepera 1969, Jenderal Ali Murtopo, melalui Operasi Khususnya semakin aktif membujuk dan menakut-nakuti rakyat Papua, untuk memilih berintegrasi dengan Indonesia. Macam-macam taktik dihalalkan, mulai dari intimidasi militer, kunjungan wisata sejumlah kepala suku ke tempat pelacuran di Jawa, sampai dengan operasi pembagian beras secara cuma-cuma oleh PT Irian Bhakti yang merupakan front bagi Opsusnya Ali Murtopo.

 

Pada 12 Februari 1969 satu demonstrasi besar masyarakat Papua di depan rumah wakil PBB, diplomat Bolivia Dr Fernando Ortiz-Sanz,  menuntut agar Pepera itu tidak diselenggarakan dengan sistem musyawarah, sebagaimana yang dimaui Ali Murtopo, melainkan dengan sistem satu-orang-satu-suara. Para demonstran berpendapat itulah cara yang semestinya menurut praktek internasional, seperti digariskan dalam Pasal 28 ayat (d) Perjanjian New York 1962. Demonstrasi massa yang semula tertib dengan menyanyikan lagu-lagu rohani kemudian bubar mendengar tembakan panser kavaleri TNI, yang konon tidak disengaja.Walhasil, Pepera itu yang tetap diselenggarakan dengan sistem musyawarah, di mana 1025 orang anggota Dewan Musyawarah Pepera berkumpul  secara estafet di 8 kota,mulai dari Merauke pada 14 Juli dan berakhir di Jayapura 2 Agustus 1969, dengan suara bulat menyatakan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

 

Hasil Pepera itulah, dengan lampiran catatan Dr Ortiz-Sanz, disampaikan ke SU PBB untuk disahkan. Dalam acara pemungutan suara, para anggota PBB terpecah jadi empat kelompok: negara-negara Barat, di bawah komando AS, menyatakan menerima hasil Pepera itu, karena ingin segera mulai  mengolah sumberdaya alam di Papua Barat. Negara-negara sosialis, yang tidak ingin dialianasi lebih jauh oleh Indonesia yang sudah jatuh ke pangkuan AS, tidak ingin menyinggung perasaan Indonesia sehingga tanpa banyak cingcong, menerima hasil Pepera. Negara-negara Islam, juga menerima hasil Pepera, karena menginginkan dukungan Indonesia dalam perjuangan bangsa Palestina menghadapi kolonialisme Israel yang didukung oleh AS.

 

Hanya 15 negara Afrika dan Karibia, didorong oleh solidaritas kulit hitam, menolak hasil Pepera, tapi kalah suara menghadapi tiga blok di atas. Sebagai kompensasi, Senegal di bawah presiden Leopold Sedar Senghor menyediakan fasilitas diplomatik bagi OPM di Dakar, dari mana hubungan dengan 15 negara pendukung OPM dilanjutkan. Sebagai reaksi atas pelanggaran-pelanggaran HAM di seputar Pepera 1969, "Republik Papua Barat" diproklamasikan seorang bekas anggota TNI/AD, Seth Jafeth Rumkorem, di kota kecamatan Waris, pada 1 Juli 1971. Proklamasi itu mengabadikan bendera Sang Bintang Kejora dan lagu kebangsaan Hai Tanahku, Papua, ciptaan orang-orang Belanda sepuluh tahun sebelumnya, menjadi simbol-simbol nasionalisme mereka.

 

Sejak saat itulah, berbagai kelompok masyarakat Papua silih berganti terlibat dalam pengibaran bendera Papua serta ekspresi nasionalisme Papua lainnya. Dari kalangan pegawai negeri, ibu-ibu di Kampung Ormu, Jayapura, mahasiswa Uncen asal Fakfak, tentara, dosen Uncen, sampai dengan Doktor Ilmu Pemerintahan pertama asal Papua Barat, Thomas Wanggai, di stadion Mandala, Jayapura, pada 14 Desember 1988. Ekspresi nasionalisme Papua itu membuahkan hukuman penjara 20 tahun bagi Tom Wanggai, yang tidak sempat diselesaikannya lantaran meninggal secara misterius di RS Polri Jakarta. Berbagai pelanggaran HAM serta rasa ketidakadilan melihat sumberdaya alam mereka dijarah oleh orang luar, ikut melecut nasionalisme Papua. Yang sangat menonjol adalah pemboman kampung-kampung Suku Amungme sekitar Tembagapura serta kampung-kampung Suku Lani di timur Lembah Balim oleh Skuadron "Kuda Sembrani" TNI/AU di pertengahan 1977.

 

Operasi pemboman pesawat-pesawat OV-10F Bronco dari pangkalan mereka di Baucau, Timor Timur, mengakibatkan ribuan korban jiwa yang tidak banyak mendapat sorotan di Indonesia. Namun peristiwa berdarah yang paling kuat melecut nasionalisme Papua, yang mengakibatkan hijrahnya sepuluh ribu pengungsi ke PNG, adalah pembunuhan seniman Papua, Arnold Ap, oleh satu regu Kopassus, pada 26 April 1984. Sampai detik ini, Pangdam Cenderawasih waktu itu, Mayjen R.K. Sembiring Meliala, Pangab Jenderal Benny Murdani, serta Komandan Kopassus belum pernah mempertanggungjawabkan pembunuhan di luar jalur peradilan (extra-judicial killing ) itu yang menggunakan senapan mesin Uzi buatan Israel.

 

Peristiwa itu sangat traumatis bagi orang Papua, sebab pembunuhan seniman, aktivis lingkungan, serta Kurator Museum Antropologi Uncen, yang berjasa menghidupkan kembali berbagai cabang kesenian orang Papua, praktis memupuskan harapan orang Papua, bahwa identitas mereka masih dapat dipertahankan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak saat itulah, nasionalisme Papua semakin merasuk di kalangan masyarakat, bukan hanya di antara suku-suku pegunungan sekitar Tembagapura, melainkan juga di kalangan mahasiswa, pegawai negeri, rohaniwan Kristen maupun masyarakat Islam di daerah Fakfak, yang dulu sudah juga terwakili dalam Dewan Papua maupun dalam barisan panjang pengibar bendera Sang Bintang Kejora yang pernah dipenjarakan. Pelanggaran demi pelanggaran HAM, pembantaian demi pembantaian, gelombang-gelombang transmigran dan migran spontan, serta pengurasan sumberdaya alam tanpa mengindahkan pranata adat dan lingkungan orang Papua, justru semakin memupuk nasionalisme Papua. Walhasil, 1 Juli lalu, 27 tahun setelah proklamasi Republik Papua Barat di Markas Victoria, Sang Bintang Kejora berkibar kembali di mana-mana, memanfaatkan celah reformasi di Indonesia sendiri.

AMERIKA DAN DANGDUT


Engkau teman karibku, lebih dari saudara…

Jangankan makan minum, tidur kita bersama….

Bukankan engkau tahu dia itu milikku….

Namun begitu tega kau rampas segalanya, inikah balasannya akhlah teman setia…..”

Kurang-lebih begitulah liryc salah satu lagu dangdut yang sering saya dengarkan di daerah tempat saya tinggal, Pantura (Pantai Utara) Lamongan, yang kebanyakan penduduknya adalah nelayan.

Irama musik yang berkembang di Indonesia sekitar tahun 1960-an itu hampir setiap hari menghiasi rumah-rumah penduduk di daerah tersebut. Tidak hanya daerah itu saja, tetapi mungkin hampir seluruh daerah di Indonesia akan sering ditemui lantunan lagu itu, yaitu dangdut. Memang dandut bukan musik asli Indonesia, melainkan campuran aroma melayu dan India, tetapi dangdut seakan-akan sudah mendarah daging dengan kehidupan masyarakat Indonesia, terutama mereka yang berada di kelas pekerja.

Tetapi akan menjadi aneh ketika kita mendengar dangdut banyak didendangkan di luar Indonsia, terutama di Amerika Serikat. Ya, baru-baru ini ada semacam audisi pencarian bakat penyanyi dangdut di Amerika. Pelaksana audisi tersebut adalah NSR Production, yang dipresideni oleh Rissa Asnan, seorang Indonesia yang sekarang menetap di Amerika. Kenapa ini menjadi sangat aneh? Hal ini disebabkan karena amerika adalah negara yang sangat jauh korelasinya dengan musik dangdut. Amerika kita kenal adalah Negara yang sangat terkenal denga nuansa-nuansa music rock, jazz dan musik-musik modern lainnya.

Pada awalnya Rissa membagikan selebaran kepada sejumlah media massa, baik Koran lokal maupun Koran-koran milik komunitas Indonesia yang ada di Philadelphia, Amerika. Dalam selebaran tersebut Rissa mengajak warga Amerika untuk berpartisipasi dalam kontes penyanyi dangdut idaman. “ingin kondang di Indonesia? Ikut dong”, begitulah bunyi sayembara tersebut yang juga dipasang di saluran youtube. Dan tidak disangka-sangka, ternyata hasil dari sayembara tersebut cukup bagus untuk kalangan masyakat Amerika. Sekitar 50 peserta mendaftarkan diri untuk dapat mengikuti audisi tersebut. Peserta dari audisi tersebut tidak hanya warga asli amerika saja, melainkan juga warga pendatang yang sudah menetap di Amerika.

Audisi tersebut di beri tema “Dangdut in Amerika”.  Konkritnya, Dangdut in Amerika adalah sebuah ajang audisi publik Amerika untuk membawakan lagu-lagu dangdut dengan goyangan yang khas. Para kontestan sendiri akan diberi pilihan lagu dalam melakukan audisi tersebut. Dan pada akhirnya, pemenang dari audisi tersebut nantinya akan diterbangkan ke Indonesia untuk manggung di tengah masyarakat Indonesia.

Selain sebagai ajang audisi, atau pencarian bakat penyanyi dangdut di Amerika, ajang ini juga ditujukan untuk menjadi salah satu sarana pertukaran seni budaya antara Amerika dan Indonesia. Kita tahu bagaiman masyarakat Indonesia dengan mudah menerima musik-musik yang berasal dari Amerika, sehingga diharapkan masyarakat Amerika juga dapat menerima musik Indonesia. Terkhusus adalah musik dangdut.

Proses seleksi dilakukan oleh Rissa dibantu oleh Toni Washington, seorang wanita penyanyi profesional kulit hitam, seleksi dilakukan di gedung pusat kebudayaan warga kulit hitam di Howthorne, selatan Philadelphia. Seperti halnya audisi-audisi yang lain, mereka satu per satu diminta unjuk kebolehan bernyanyi. Lalu ditanya mengenai pengetahuan tentang Indonesia, kemudian disodori teks lagu Bekas Pacar. Dan tiadak kalah penting mereka juga diminta untuk unjuk kebolehan dalam bergoyang.

Selain goyangan, yang telah menjadi pasangan wajib dangdut, peserta juga diharapkan mempunyai kemampuan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Meskipun pada akhirnya banyak dari peserta audisi yang kesulitan untuk melafalkan bahasa indonesia dengan fasih. Seperti kata “cuma” menjadi “kuma“.

Meskipun demikiaan keantusiasan masyarakat amerika patut diacungi jempol, meskipun bukan orang indonesia, tetapi keingina mereka yang kuat untuk mau mengikuti audisi musik yang biasanya sering terdengar di pelosok-pelosok desa di Indonesia itu. Selain itu, beradaan dangdut di Amerika juga menandalan bahwa dangdut tidak lagi menjadi musik kalangan bawah dan hanya di Indonesia saja, tetapi juga dapat dinikmati oleh orang-orang dan negara-begara lain di luar Indonesia.

PESANTREN; ANOMALI KEHIDUPAN SANTRI


“aku pengen anakku emben iso pidato, makane ate tak pondokno”, Kata bapak seorang kawan sebelum kita sama-sama mondok dengan aksen Jawa Timuran yang masih cukup kental.

Sampai sekarang pandangan itu akan sulit sekali hilang dari benak orang-orang awam. Pondok pesantren adalah tempat yang sangat tepat untuk mengasah kemampuan pendalaman agama. Statement bisa khotbah disini dimaksudkan untuk menyebut istilah pemahaman yang kuat terhadap nilai-nilai keagamaan. Namun saat ini pondok tidak lagi berkutat pada kaidah-kaidah Islamiah saja, melainkan sudahd menawarkan model baru dalam pembelajarannya, dengan memunculkan konsep-konsep pondok pesantren modern.

Konsep pondok pesantren pertama kali digunakan oleh para wali di jawa untuk menyebarkan dan mengajarkan Islam di Nusantara. Dengan demikian pondok pesantren sudah tidak bisa lagi kita pisahkan dengan model pendidikan ala Islam, karena itu sudah merupakan satu kesatuan yang saling mendukung satu sama lainnya, dan bahkan sebagian orang mengatakn pesantren adalah budaya asli Indonesia.

Unsur-unsur Pondok Pesantren

Seperti yang telah kita ketahui, bahwa setiap pesantren mempunyai unsur-unsur yang meliputi Kiyai, Santri, Asrama, masjid dan Kitab. Itu adalah bisa dikatakan sebagai rukun pondok pesantern, namun demikian, penulis mencoba untuk menambai satu unsur lagi, yaitu kurikulum. Kurikulum ini nantinya berfungsi sebagai orientasi pendidikan yang ada di pesantren tersebut.

Keenam elemen itu tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, semuanyai mempunyai peran penting yang saling mendukung satu dengan yang lain. Sulit membayangkan ketika sebuah pondok pesantren tidak mempunyai seorang tokoh yang sering disebut kiai, atau bahkan tidak mempunyai santri untuk diajar. Atau rasanya sangat kurang lengkap jika di tengah-tengah bangunan pesantren tidak terselip sebuah masjid di sana.

Untuk masalah kitab, mungkin untuk saat ini tidak terlalu bermasalah, apalagi di beberapa pondok pesantren yang berhaluan modern. Kitab hanya akan kita temukan di beberapa pesantren yang mempunyai kekhasan tersendiri, seperti Krapyak dengan kitab nahwunya, Kediri dengan Fikihnya dan tempat-tempat yang lain.

Warna Kehidupan Pesantren

Satu harapan yang pasti muncul dalam benak kita kepada seluruh alumni pondok pesantren, yaitu menjadi kader yang unggul dalam moral, ilmu dan amal. Harapan itu tidak terkesan muluk-muluk dan utopis karena pada dasarnya pesantren adalah tempat untuk menempa diri, terutama yang berhubungan dengan kemajuan moral. Akan tetapi, fenomena yang terjadi saat ini sangat tidak sesuai dengan keingina khalayak, dalam artian lulusan pesantren belum mampu memenuhi kriteria sebagai pengembang amanah masyarakat.

Yang patut menjadi perhatian kita saat ini adalah, apa yang terjadi dengan pendidikan yang pesntren, apakan memang sudah tidak ada lagi perhatian khusus kepada santri-santri, ataukah individu-individunya (santri, red) yang tidak bisa menerima tawaran-tawaran pesantren. Mari kita amati bersama.

Kehidupan pesantren yang terkesan mengekang mempunyai dua dampak yang saling kontradiktif. Kondisi ini menjadikan santri-santri menjadi individu yang disiplin, yang taat pada peraturan, namun di lain pihak, kondisi ini malah semakin mengekang kemerdekaan santri untuk bisa bebas berekspresi dan berkarya.

Poin pertama, dengan peraturan yang super ketat, lama kelamaan ini akan melatih santri untuk hidup teratur dan disiplin. Bayangkan, jam setengah empat harus bangun guna menunaikan salat subuh, jam enam pagi harus sudah mandi kalau tidak mau antri makan, karena jam tujuh harus masuk sekolah pagi, siangnya harus merelakan waktu tidur siang, karena harus segera bangun salat duhur dan mengikuti pelajaran siang. Belajar malam pun pada akhirnya harus dikontrol dengan ketat, jangan harap bisa toleh-toleh jika tidak mau di pukul dengan cambuk. Proses ini terus berjalan setiap hari. Inilah yang kemudian diharap mampu memupuk jiwa disiplin santri-santri di pondok pesantren.

Di sisi lain, pola seperti ini adalah blunder bagi sistem pendidikan, terutama bagi mereka yang berhati keras dan suka memberontak. Kekangan-kekangan ini pada akhinrya akan berdampak buruk bagi psikologi santri, dan (ternyata) banyak juga yang akhirnya keluar karena tidak kuat. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dampak ketika santri itu sudah keluar dari pesantren. Karena di pesantren merasa dikekang, maka ketika di luar mereka seakan menemukan kebebasan dan mereka merdeka untuk bergerah dan berekspresi. Sukur kalau ekspresinya baik, yang menjadi persoalan adalah ketika yang dikehendaki adalah hal-hal yang berbau negatif, ini secara tidak langsung juga akan berdampak jelek bagi pesantren itu sendiri.

Oleh sebab itu, pondok pesantren perlu merumuskan kembali penegakan disiplin yang seperti apa yang harus diterakan di lembaganya, jangan sampai peraturan itu terkesan sepihak dan tidak memihak pada santri. Sudah saatnya pesantren berlaku lebih fleksibel dan lunak terhadap perkembangan jaman. Generasi sekarang berbeda dengan generasi dulu, yang lebih manja dan lembek. Satu hal yang patut digalakkan, yaitu sistem kontrol. Jika sistem ini berjalan, maka keamaan di pesantren akan dapat diatasi tanpa melakukan proses pengekangan dan bahkan kekerasan.

Tabik!

Tanah Suci Itu Bernama Jawa


Cerita ini berasal dari negeri nun jauh disana. Suriname nama negeri itu. Sebuah negeri yang mungkin kita hanya akan mendengar namanya saja. Konon negeri ini mempunyai sebuah angan untuk bisa menginjakkan kaki mereka di tanah yang selama ini mereka anggap suci. Sebuah tanah yang sedari kecil mereka idamkan untuk dapat sekadar melepaskan kerinduan yang terpendam selama ratusan tahun. Seperti halnya bangsa yahudi yang berasumsi bahwa Yerusalem adalah tanah yang dijanjikan tuhan kepada mereka, dan mereka menganggap bahwa tanah ini kemudian disucikan. Orang-orang dari negeri sebrang ini mungkin juga mempunyai angan yang sama dengan angan para Yahudi itu. Ternyata tanah itu tidak lain dan tidak bukan adalah Jawa, Indonesia, Negeri kita.


Perkenalan awal saya dengan negeri yang dinamakan Suriname ini terjadi ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Adalah Pae, saya memanggil bapak saya seperti itu, orang yang pertama kali mengenalkan saya dengan tokoh Habil dan Qobil putra Adam, orang yang pertama mengenalkan saya dengan Malin Kundang, Lutung Kasarung, Si Kancil binatang cerdik nan bangsat, dan tokoh-tokoh lain, suatu hari mengatakan bahwa ternyata bahasa Jawa tidak hanya di Indonesia saja, tetapi juga di sebuah negeri antah berantah bahasa jawa juga terlestari. Dan saya masih sangat ingat sekali pae menyebut nama Suriname, sebuah negeri yang berada di dekat degnan Argentina (mungkin karena sama-sama Amerika). “koyok wong Suriname ae, ngarani telulikor ae rongpulohtelu” ,kira-kira seperti itulah dialog kita waktu itu.

Sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa memang terdapat komunitas orang-orang Jawa yang sampai sekarang masih eksis di Suriname. Dari sekitar 500 ribu penduduk Suriname, 75 ribu diantaranya adalah keturunan Jawa. Mereka bersanding dengan para penduduk yang juga pendatang seperti Cina, India, dan Afrika. Keberadaan jawa di suriname berawal ketika indonesia berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda, kira-kira 120 tahun yang lalu. Gelombang pengiriman orang jawa oleh belanda berlangsung cukup lama, yaitu antara tahun 1890 sampai 1930. Jadi dapat dibayangkan berada jumlah tenaga jawa yang waktu dipaksa untuk menjadi bduak di negeri yang sebelumnya tidak pernah mereka dengar. Menurut catatan resmi, terdapat 31 ribu budak Jawa yang waktu di bawa oleh belanda untuk menjadi kuli di Suriname. Pengiriman ini sendiri ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga perkebunan tebu yang tersebar di beberapa daerah di Suriname.


Fakta lain yang mungkin dapat kita catat adalah, ternyata telah terjadi semacam praktik human traficking dalam pengiriman-pengiriman itu. Pemerintah belanda menggunakan tenaga calo untuk merekrut orang-orang ini. Selain itu, ada juga yang menggunakan cara-cara keji, misal menggunakan gendam. Pengakuan seoang cucu Eks budak Suriname menyebutkan bahwa kakeknya dulu mendapat gendam. Ketika itu si kakek sedang mengambil rumput. Tapi tiba-tiba dia tertidur, dan ketika dia terbangun ternyata dia sudah berada di atas geladak kapal yang menuju Suriname (Kompas, 14 April 2010).


Yang patut kita banggakan sekarang adalah, ternyata penduduk suriname keturunan jawa sampai saat ini masih memegang teguh adat istiadat jawa. Mereka masih mengenal wayang dan ndalang. Bahkan mereka juga masih mempunyai pemimpin adat yang mereka sebut Sapto, yang mana sapto ini minimal harus bisa ndalang, atau memainkan wayang. mungkin inilah salah satu penyebab kenapa mereka sangat rindu dengan tanah leluhur mereka, yang hanya mereka dengan dari buyu-buyut mereka saja. Tidak muluk-muluk, minimal mereka dapat melihat tanah yang mereka anggap suci ini.