Nasionalisme bukanlah sesuatu yang begitu saja jatuh dari langit. Ada akar historisnya. Ironisnya, akar historisnya tidak jarang bermula dari sejarah kolonial, walaupun nasionalisme pada hakekatnya bersifat anti-kolonial. Begitu pula nasionalisme Indonesia. Ketika para pendiri Republik ini bersepakat menganggap negara-bangsa yang akan didirikannya merupakan pewaris koloni Hindia Belanda, dan dengan demikian akan mematuhi batas-batas wilayahnya, sesungguhnya mereka memaksa bangsa ini mewarisi kerakusan Belanda. Kesepakatan itu merupakan kompromi para pendiri Republik ini menghadapi pragmatisme Hatta, yang mengusulkan supaya Papua Barat tidak dimasukkan, serta ekspansionisme Yamin, yang ingin memasukkan seluruh wilayah yang dihuni bangsa-bangsa rumpun Melayu.
KMB juga merupakan awal sejarah lahirnya nasionalisme Papua. Tapi sebelumnya, kita perlu fahami lebih dahulu dasar historis nasionalisme itu. Menurut para nasionalis Papua, kampung halaman mereka begitu saja diklaim sebagai wilayah Hindia Belanda hanya karena sebelumnya diklaim sebagai wilayah jajahan Sultan Tidore. Jadinya, ketika Sultan Tidore menyatakan tunduk pada kekuasaan Belanda, otomatis seluruh daerah yang diklaim sebagai wilayah jajahan Sultan Tidore, dinyatakan sebagai daerah Hindia Belanda. Tentu saja itu terjadi, tanpa meminta persetujuan rakyat Papua Barat itu sendiri.
Selanjutnya, karena para pendiri Republik Indonesia menganggap bahwa mereka merupakan pewaris yang sah dari wilayah Hindia Belanda, otomatis rakyat Papua Barat dialihkan status hukumnya dari onderdaan (bawahan) Kerajaan Belanda menjadi warganegara Indonesia. Begitulah klaim pemerintah RI di Jakarta, yang didukung mayoritas rakyat Indonesia. Belanda sendiri baru mau melepaskan kontrolnya atas wilayah Papua Barat akibat intervensi Presiden AS JF Kennedy lewat diplomatnya, Ellsworth Bunker, dalam perjanjian segitiga antara Belanda, Indonesia, dan AS di New York, pada 15 Agustus 1962.
Setelah masa transisi kurang dari setahun, di bawah pemerintahan transisi PBB, daerah ini, yang oleh Indonesia diberi nama Irian Barat, pada 1 Mei 1963 dinyatakan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Retorika yang sengaja dikembangkan untuk membuat sesuatu yang tidak alamiah, terasa alamiah. Yang kurang disadari oleh penguasa baru, yang serta merta mengganti nama ibukota Irian Barat dari Hollandia menjadi Sukarnapura, kemudian Jayapura, dalam kurun waktu 12 tahun, suatu faham kebangsaan yang lain telah dipupuk Belanda di sana. Suatu nasionalisme, yang tidak berkiblat ke Jakarta maupun ke Den Haag, melainkan ke dalam. Bukan ke Asia atau ke Eropa, melainkan ke Pasifik Selatan, mengingat Papua Barat di bawah penjajahan Belanda menjadi anggota Forum Pasifik Selatan bersama Australia, Aotearoa (Selandia Baru), Papua New Guinea, dan semua negara dan koloni di kawasan Pasifik Selatan.
Nasionalisme Papua Barat, yang dideklarasikan dengan pengibaran bendera Sang Bintang Kejora sejajar dengan bendera Merah-Putih-Biru di seluruh negeri itu, pada 1 November 1961. Selain bendera itu, simbol-simbol kebangsaan lainnya adalah lagu nasional, Hai Tanahku, Papua, dan penggantian nama Nederlands Nieuw Guinea (Nieuw Guinea Belanda) menjadi Papua Barat. Bahkan untuk melicinkan proses dekolonisasi itu, Belanda telah membentuk semacam parlemen yang mayoritas beranggotakan orang-orang Papua, serta embrio tentara nasional yang disebut Korps Sukarelawan Papua alias Batalyon Papua.
Harapan untuk menjadi negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh dibuyarkan oleh Perjanjian New York serta masuknya pemerintah Indonesia , lengkap dengan tentara, guru, dan pedagangnya, di bumi cenderawasih, bahkan ketika daerah itu masih berada di bawah pemerintahan transisi PBB, UNTEA. Inkorporasi ke dalam wilayah RI menjadi semakin traumatis, ketika semua simbol kebangsaan Papua Barat, lagu, bendera, bahkan nama Papua Barat, dinyatakan terlarang. Satu-satunya institusi nasionalis yang tersisa, yakni Batalyon Papua, dipaksa meletakkan senjata atau melebur ke TNI di bawah komando almarhum Sarwo Edhie. Maka meledaklah pemberontakan bersenjata pertama di Manokwari, 26 Juli 1965, oleh para serdadu Batalyon Papua yang didukung oleh politikus senior asal Manokwari, Johan Ariks. Penyerangan yang gagal terhadap tangsi TNI di Manokwari, namun merembet ke seluruh wilayah Kepala Burung itulah yang lazim dianggap sebagai hari lahirnya Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua Barat. Nama panjang itu kemudian disingkat pihak aparat keamanan dan kejaksaan Indonesia menjadi Organisasi Papua Merdeka, disingkat OPM, singkatan yang kemudian populer di seluruh kalangan nasionalis Papua.
Terlepas dari konflik-konflik bersenjata kecil-kecilan di sana-sini, tahun-tahun berikutnya para nasionalis Papua berusaha mengkonsolidasi diri menghadapi Penentuan Pendapat Rakyat yang menurut Perjanjian New York harus diselenggarakan Indonesia di bawah pengawasan PBB, tahun 1969. Ironisnya, benih-benih nasionalisme Papua Barat sementara itu merembet dari para serdadu didikan Belanda ke para mahasiswa Universitas Cenderawasih didikan Indonesia. Sejumlah mahasiswa Uncen, di bawah pimpinan almarhum Arnold Ap, mulai sering berdemonstrasi menuntut kemerdekaan Papua Barat. Demonstrasi-demonstrasi yang sering dipicu oleh ulah para tentara dan birokrat Indonesia, yang tanpa malu-malu mengangkut barang-barang mewah peninggalan Belanda seperti kulkas dan mesin cuci listrik -- ke tempat asal mereka.
Makin dekat Hari-H penyelenggaraan Pepera 1969, Jenderal Ali Murtopo, melalui Operasi Khususnya semakin aktif membujuk dan menakut-nakuti rakyat Papua, untuk memilih berintegrasi dengan Indonesia. Macam-macam taktik dihalalkan, mulai dari intimidasi militer, kunjungan wisata sejumlah kepala suku ke tempat pelacuran di Jawa, sampai dengan operasi pembagian beras secara cuma-cuma oleh PT Irian Bhakti yang merupakan front bagi Opsusnya Ali Murtopo.
Pada 12 Februari 1969 satu demonstrasi besar masyarakat Papua di depan rumah wakil PBB, diplomat Bolivia Dr Fernando Ortiz-Sanz, menuntut agar Pepera itu tidak diselenggarakan dengan sistem musyawarah, sebagaimana yang dimaui Ali Murtopo, melainkan dengan sistem satu-orang-satu-suara. Para demonstran berpendapat itulah cara yang semestinya menurut praktek internasional, seperti digariskan dalam Pasal 28 ayat (d) Perjanjian New York 1962. Demonstrasi massa yang semula tertib dengan menyanyikan lagu-lagu rohani kemudian bubar mendengar tembakan panser kavaleri TNI, yang konon tidak disengaja.Walhasil, Pepera itu yang tetap diselenggarakan dengan sistem musyawarah, di mana 1025 orang anggota Dewan Musyawarah Pepera berkumpul secara estafet di 8 kota,mulai dari Merauke pada 14 Juli dan berakhir di Jayapura 2 Agustus 1969, dengan suara bulat menyatakan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Hasil Pepera itulah, dengan lampiran catatan Dr Ortiz-Sanz, disampaikan ke SU PBB untuk disahkan. Dalam acara pemungutan suara, para anggota PBB terpecah jadi empat kelompok: negara-negara Barat, di bawah komando AS, menyatakan menerima hasil Pepera itu, karena ingin segera mulai mengolah sumberdaya alam di Papua Barat. Negara-negara sosialis, yang tidak ingin dialianasi lebih jauh oleh Indonesia yang sudah jatuh ke pangkuan AS, tidak ingin menyinggung perasaan Indonesia sehingga tanpa banyak cingcong, menerima hasil Pepera. Negara-negara Islam, juga menerima hasil Pepera, karena menginginkan dukungan Indonesia dalam perjuangan bangsa Palestina menghadapi kolonialisme Israel yang didukung oleh AS.
Hanya 15 negara Afrika dan Karibia, didorong oleh solidaritas kulit hitam, menolak hasil Pepera, tapi kalah suara menghadapi tiga blok di atas. Sebagai kompensasi, Senegal di bawah presiden Leopold Sedar Senghor menyediakan fasilitas diplomatik bagi OPM di Dakar, dari mana hubungan dengan 15 negara pendukung OPM dilanjutkan. Sebagai reaksi atas pelanggaran-pelanggaran HAM di seputar Pepera 1969, "Republik Papua Barat" diproklamasikan seorang bekas anggota TNI/AD, Seth Jafeth Rumkorem, di kota kecamatan Waris, pada 1 Juli 1971. Proklamasi itu mengabadikan bendera Sang Bintang Kejora dan lagu kebangsaan Hai Tanahku, Papua, ciptaan orang-orang Belanda sepuluh tahun sebelumnya, menjadi simbol-simbol nasionalisme mereka.
Sejak saat itulah, berbagai kelompok masyarakat Papua silih berganti terlibat dalam pengibaran bendera Papua serta ekspresi nasionalisme Papua lainnya. Dari kalangan pegawai negeri, ibu-ibu di Kampung Ormu, Jayapura, mahasiswa Uncen asal Fakfak, tentara, dosen Uncen, sampai dengan Doktor Ilmu Pemerintahan pertama asal Papua Barat, Thomas Wanggai, di stadion Mandala, Jayapura, pada 14 Desember 1988. Ekspresi nasionalisme Papua itu membuahkan hukuman penjara 20 tahun bagi Tom Wanggai, yang tidak sempat diselesaikannya lantaran meninggal secara misterius di RS Polri Jakarta. Berbagai pelanggaran HAM serta rasa ketidakadilan melihat sumberdaya alam mereka dijarah oleh orang luar, ikut melecut nasionalisme Papua. Yang sangat menonjol adalah pemboman kampung-kampung Suku Amungme sekitar Tembagapura serta kampung-kampung Suku Lani di timur Lembah Balim oleh Skuadron "Kuda Sembrani" TNI/AU di pertengahan 1977.
Operasi pemboman pesawat-pesawat OV-10F Bronco dari pangkalan mereka di Baucau, Timor Timur, mengakibatkan ribuan korban jiwa yang tidak banyak mendapat sorotan di Indonesia. Namun peristiwa berdarah yang paling kuat melecut nasionalisme Papua, yang mengakibatkan hijrahnya sepuluh ribu pengungsi ke PNG, adalah pembunuhan seniman Papua, Arnold Ap, oleh satu regu Kopassus, pada 26 April 1984. Sampai detik ini, Pangdam Cenderawasih waktu itu, Mayjen R.K. Sembiring Meliala, Pangab Jenderal Benny Murdani, serta Komandan Kopassus belum pernah mempertanggungjawabkan pembunuhan di luar jalur peradilan (extra-judicial killing ) itu yang menggunakan senapan mesin Uzi buatan Israel.