Senin, 01 Agustus 2011

SEKILAS HUBUNGAN “MESRA” PESANTREN DENGAN MUHAMMADIYAH

(Studi Kasus Ponpes Karangasem, Paciran, Lamongan)

Latar Belakang Masalah
Mastuhu mencatat bahwa perkembangan pesantren di Indonesia telah berlangsung sejak 300 sampai 400 tahun yang lalu. Sebuah angka yang tidak sedikit untuk sebuah babakan waktu dalam sejarah. Perkembangan pesantren sebenarnya diilhami oleh keilmuan Islam yang dipadukan dengan nilai-nilai tradisi bangsa. Oleh sebab itu, dengan usianya yang panjang pesantren telah menjadi bagian dari warisan dan tradisi Bangsa Indonesia.

Pesantren banyak berkembang dalam ranah perkembangan pendidikan, terutama pendidikan Islam. Ki Hajar Dewantara mencatat bahwa sistem pendidikan pesantren adalah sistem pendidikan nasional, bahwa dalam pendidikan pesantren terdapat sebuah harmonisasi klasik antara guru dengan para muridnya. Harmonisasi ini pada akhirnya akan menciptakan pola pendidikan yang baik dan teratur.

Meskipun demikian, tidak bisa serta merta mengabaikan peranan besar pesantren terhadap dinamika masyarakat di pesantren itu tumbuh dan berkembang. Tampak nyata dalam tulisan Sartono, yang mengupas tuntas fakta-fakta unik tentang pergerakan sebuah sekelompok petani lokal dalam upayanya melawan hegemoni kolonial Belanda di Banten sekitar tahun 1888. Ternyata, salah satu golongan yang mempunyai peranan cukup penting adalah golongan santri, yaitu mereka yang pernah bersinggungan dengan pesantren. Santri-santri itu secara terorganisir melancarkan agitasi-agitasi. Semisal bahwa Belanda adalah kafir dan tidak seiman dengan mereka. Ditambahkan pula bahwa mereka itulah yang menyebabkan segala malapetaka di sekitar mereka.

Meskipun pemberontakan para petani Banten dapat segera dipadamkan, akan tetapi gerakan kaum santri tidak berhenti sampai di situ saja. Seiring berjalannya roda dinamika sejarah Indonesia, sepanjang itu pula keikutsertaan kaum santri menyumbangkan andilnya dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa ini. Sampai kemudian muncullah era Politik Etis Hindia Belanda yang semakin memberi angin sejuk untuk gerakan santri.

Politik etik merupakan politik “Balas Budi” pemerintah kolonial Belanda kepada masyarakat pribumi. Politik etik ini seterusnya membuka keran-keran intelektualitas masyarakat bumiputra, yang sebelumnya hanya dimiliki para pendatang dan keturunan Eropa. Salah satu dampaknya adalah jiwa-jiwa nasionalisme yang dituangkan dalam pelbagai media, baik itu gerakan pelajar atau yang berbasis kedaerahan, sebagai contoh adalah Jong Java, Jong Sumatra, dan Jong Ambon.

Awalnya, politik balas budi Belanda masih terbatas untuk kalangan elit belaka. Kebijakan ini hanya berlaku bagi mereka yang mempunyai kedudukan birokrasi dalam pemerintahan, atau kalau tidak seperti itu, biasanya mereka yang berasal dari kalangan ningrat dan pegawai rendahan, semisal Wedana dan kepala desa. Tidak terkecuali adalah kalangan santri dan priyayi. Momen inilah yang kemudian dimanfaatkan dengan cerdik oleh Mohammad Darwisy ketika menjadi salah satu katib di Kesultanan Yogyakarta.

Mohammad Darwis atau Ahmad Dahlan yang waktu itu juga aktif di BO (Boedi Oetomo) mendapat tantangan dari kawan-kawan sejawatnya untuk membuat sebuah lembaga pendidikan yang dipusatkan dalam bidang keagamaan. Setelah berdiskusi dan mendapat masukan dari beberapa temannua, Dahlan akhirnya mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta 18 pada November 1912. Di tengah pengaruh keraton yang sangat kuat, tampaknya Muhammadiyah tidak begitu berhasil menyebarkan paham puritanisasinya.
Muhammadiyah dengan slogan yang dia usung, pemberantasan TBC (Tahayul, Bid’ah dan Churofat), yang telah mendarah daging di kalangan masyarakat Jawa waktu itu. Kenyataan itu memang terbukti menghambat ruang gerak Muhammadiyah sampai tahun 1914. Pasca itu Muhammadiyah mendapat kesempatan untuk memperluas fahamnya ke daerah-daerah sekitar Yogyakarta. Muhammadiyah mendapatkan sambutan yang cukup antusias di luar Yogyakarta, salah satu penyebabnya adalah karena Muhammadiyah tidak melibatkan dirinya untuk terlibat langsung ke dalam politik praktis, dan tentunya Muhammadiyah awal sangat terasa ke-Jawa-annya.

Tahun 1921 Muhammadiyah secara resmi berdiri di Surabaya, Jawa Timur. Tokoh yang paling berperan dalam perkembangan Muhammadiyah Surabaya adalah K.H Mas Mansur yang juga dibantu oleh beberapa tokoh lokal kenamaan seperti K. Usman, H. Asyhari Rawi, dan H. Ismail. Penyebaran Muhammadiyah di Surabaya inilah yang menyebabkan arus penyebaran Muhammadiyah di Jawa Timur terus meningkat, salah satunya di Lamongan.
Poros penyebaran Muhammadiyah di Lamongan terdapat di tiga titik penting, Blimbing, Pangkatrejo, dan Kota Lamongan sendiri. Khususnya di Blimbing, yang merupakan daerah pesisir, Muhammadiyah mendapat sambutan yang sangat luar biasa. Perkembangan Muhammadiyah di Lamongan Utara juga berbanding lurus dengan perkembangan pondok pesantren (ponpes) baik tradisional atau modern. Untuk selanjutnya kedua elemen itu saling bersinergi dan bertaut memberi sumbangan nyata terhadap perkembangan masyarakat Lamongan Utara, hal yang sebenarnya tidak lazim terjadi dalam proses penyebaran Muhammadiyah. Salah satu ponpes yang ikut andil waktu itu adalah ponpes Karangasem. Sebuah ponpes yang terletak di Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Lamongan.

Pada akhirnya penelitian skripsi ini akan dipusatkan pada peranan Ponpes Karangasem terhadap perkembangan Muhammadiyah di Lamongan, khususnya Lamongan bagian utara. Hal ini mengingat bahwa dinamika masyarakat Lamongan sangat lekat hubungannya dengan banyaknya ponpes yang berdiri di sana. Salah satunya adalah Ponpes Karangasem yang didirikan oleh K.H Abdurrahman Rahman Syamsuri, masyarakat sekitar akrab memanggil Yi Man.Secara resmi ponpes Karangasem didirikan oleh Yi Man pada tahun 1948, yang bermula dari sebuah langgar milik kakeknya, Kiai Idris, tahun 1930. Ketika menunaikan ibadah haji di Mekah tahun 1939 Kiai Idris, yang merupakan kakek Yi Man meninggal dunia. Selanjutnya perawatan dan penggunaannya diserahkan kepada KH Ridlwan dan KH Syamasuri, adapun KH. Syamsuri sendiri adalah ayah kandung dari KH. Abdurrahman Syamsuri. Tahun 1944, Yi Man, yang waktu itu masih mondok di Kediri dipanggil oleh ayahnya untuk diserahi tugas mengurusi langgar tersebut. Setelah resmi mengambil pengurusan langgar dari ayahnya, sedikit demi sedikit banyak santri yang datang ke sana, dan tahun 1948 Yi Man meresmikan langgar tersebut sebagai sebuah pondok pesantren.

Dari paparan latar belakang diatas, sebenarnya penelitian ringan ini berupaya menuliskan sebuah kegelisahan yang terus bergelayut dan membebani diri terkait; Bagaimana keadaan umum masyarakat Lamongan terkait perkembangan pesantren dari tahun ke tahun. Sekilas, perkembangan pesantren ternyata berimbas terhadap perkembangan beberapa organsisasi sosial keagamaan, salah satunya adalah Muhammadiyah. Terkait dengan perkembangan Muhammadiyah, ponpes karangasem—objek penelitian—ternyata mempunyai peranan vital yang sulit untuk dilepaskan begitu saja, lantaran kedua elemen ini mempunyai pola hubungan sismbiosis mutualis yang begitu kuat.

Kajian Pustaka
Pesantren secara umum diketahui oleh khalayak adalah sebuah lembaga pendidikan yang dikhususkan untuk menempa para santrinya dalam memahami ikhwal keagamaan. Pesantren, dalam perkembangannya telah membuat corak khusus atas dirinya sendiri, yang sama sekali berbeda dengan pola-pola pendidikan umum kala itu. Akan tetapi, seiring dengan berekembangnya waktu, dan semakin meruncingnya kebutuhan, termasuk pendidikan umum, maka pesantren, yang awalnya hanya berkutat pada ranah agama mengubah orientasinya, terutama dalam bidang pendidikan. Kondisi ini mendorong Ahmad Dahlan untuk mendirkan Muhammadiyah. Dia memberi sebuah warna yang baru dalam perkembangan pendidikan, campuran agama dan ilmu umum. Dalam kajian umum ini, akan dibahas secara singkat, yang diharapkan bisa menjadi hipotesa awal terkait penelitian ini. Tujuannya untuk mencari sebuah benang merah yang tercecer entah dimana.
Islam Pesisir
Menurut Nur Syam dalam disertasinya, masyarakat Islam Pesisir adalah sebuah masyarakat Islam yang komplek, yang sangat jauh berbeda dengan Islam pedalaman secara umum. Demikian halnya dengan keberadaan agama di pesisir, termasuk Islam. Ada anggapan pula bahwa Islam yang masuk ke Jawa bukan Islam yang benar-benar murni, tetapi ada sentuhan adat lokal dari para penyebar Islam itu sendiri.

Keberadaan dan penyebaran Islam di pesisir juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah iklim dan keadaan masyarakat pesisir itu sendiri. Masyarakat pesisir yang terkenal keras dan ceplas-ceplos menjadi pengaruh tersendiri terhadap perkembangan Islam. Untuk masalah sinkritisme terhadap budaya-budaya lokal, sepertinya Islam pesisir jauh lebih sedikit dari pada yang terjadi di pedalaman.

Sebagai contoh konkrit adalah bagaimana membedakan antara Muhammadiyah pesisir dengan Muhammadiyah yang ada di pedalaman. Muhammadiyah pesisir lebih menekankan kepada proses ibadah yang subtantive. Berbeda dengan Muhamadiyah pedalaman yang dalam beberapa amalan hariannya, tidak berbeda jauh dengan golongan Nahdhiyin, yang masih kental menjaga warisan budaya dan tardisi serta kearifan lokal keadaerahan.

Muhammadiyah
Muhammdiyah didirikan pada 18 November 1912 oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Inisiatif awal pendirian organisasi ini adalah munculnya beberapa usulan dari para muridnya dan beberapa orang yang tergabung dalam Boedi Oetomo untuk mendirikan sebuah organisasi yang bersifat permanen. Muhammadiyah Lamongan menurut bukunya Syuhadi yang berjudul Mengenang Perjuangan Sejarah Muhammadiyah Lamongan 1936-2005, secara organisatoris resminya berdiri tahun 1967 berdasar SK PP Muhammadiyah No. C-076/D-13, tanggal 11 September 1967, yang saat itu masih membawahi enam cabang.

Sebagai organisasi Islam modern tentunya Muhammadiyah mempunyai konsep modernisasi tersendiri. Pertama adalah menyelamatkan ketertinggalan umat Islam Indonesia dari percaturan modernitas, dan kedua adalah begitu jauhnya umat Islam terlepas dari semangan al-quran dan keteladanan Muhammad. Sazali dalam bukunya “ Muhammadiyah & Masyarakat Madani, Independensi, Rasionalitas, dan Pluralisme” menjelaskan bagaimana Ahmad Dahlan lebih tertuju pada usaha pencerahan dan pencerdasan umat, yang merupakan suatu strategi sosial-budaya yang memiliki dampak sangat jauh dalam pengembangan kualitas individu.

Selain itu, berdirinya Muhammadiyah juga terinspirasi dari perkembangan faham wahabi. Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa Muhammadiyah bukan wahabi, karena ada beberapa hal yang ada di Muhammadiyah akan tetapi tidak ada di wahabi.

Pesantren
Pesantren menurut Steenbrink dalam bukunya Pesantren Madrasah Sekolah adalah lembaga pendidikan yang identik dengan sistem pendidikan Islam, yang di dalamnya dilandaskan pada pengajaran Al-Qur’an dan Bahasa Arab yang mendalam. Penguatan bahasa Arab tujuannya adalah sebagai bekal untuk mempersiapkan diri dalam penguasaan kitab. Berbeda dengan metode pembelajaran bahasa arab pada umumnya, Streenbrink menjabarkan bahwa Bahasa Arab yang pertama kali yang dipelajari adalah dalam bentuk sajak dan syair. Para murid dituntut untuk menghapal tanpa salah, kemudian isinya dijelaskan kata demi kata oleh guru kepada mereka.

Menurut Aboebakar Atjeh pesantren adalah tempat berkumpul santri-santri, tempat penginapan dan atau asrama dan tempat mereka menerima pelajaran-pelajaran yang bertali dengan agama Islam. Prasojo menambahkan bahwa pesantren harus mempunyai pengakuan dari lingkungan masyarakat tertentu terhadap kelebihan di bidang agama (Islam) dan kesalihan seorang ulama, yang biasa disebut kiai, sehingga masyarakat itu datang untuk menuntut ilmu kepada kiai di pesantren itu.

Secara terminologi dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren dilihat dari bentuk dan sistemnya, berasal dari India, yang sebelumnya banyak digunakan oleh agama Hindu, bahkan beberapa istilah yang berhubungan dengan pesantren juga berasal dari India. Elemen yang paling berpengaruh dalam heirarki pesantren adalah kiai. Secara umum kiai adalah sebutan bagi ulama-ulama yang mempunyai pesantren, khususnya yang berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kiai identik dengan pesantren yang mereka anggap sebagai kerajaan kecil bagi mereka, yang di dalamnya kiai dapat menentukan kewenangan mutlak terhadap kehidupam pesantren tersebut. Menurut Azra kiai adalah penafsir sah dari sumber-sumber asli ajaran Islam, yaitu Qur’an dan Hadis.

Ponpes Karangasem juga bergantung kepada sosok kiai. Dalam perkembangannya kiai mempunyai peran besar terhadap perubahan pola pendidikan di Ponpes Karangasem dari pesantren salaf ke pesantren modern. Salaf yaitu menggunakan metode pengajaran ponpes tradisional dengan metode pengajaran halaqah dengan banyak kitab, sedangkan ponpes modern lebih menggunakan model pendidikan pesantren modern dengan memasukkan sistem klasikal di dalamnya.

Sekadar Pembanding

Sejarah, seperti yang banyak disebut dalam beberapa buku pengantar ilmu sejarah mempunyai sifat yang unik. Unik berarti bahwa peristiwa sejarah hanya berlangsung sekali saja. Dalam perkembangannya kita akan disuguhkan dengan pelbagai peristiwa sejarah yang mempunyai kemiripan baik itu terkait ruang, waktu, dan peristiwa. Oleh sebab itu, untuk memberi dan menjelaskan perbedaan antar satu penelitian dengan penelitian lainnya, perlu dilakukan perbandingan-perbandingan.

Historiografi yang relevan berarti upaya membandingkan sebuah penelitian yang akan dilangsungkan dengan penelitian-penelitian sejarah yang telah ada. Tujuannya adalah supaya didapatkan karya sejarah yang benar-benar baru, dengan harapan tidak terjadi repetisi pembahasan, apalagi plagiarisme yang sekarang ini marak.

Pada awalnya rujukan karya sejarah yang menurut peneliti paling relevan adalah skripsi yang berjudul Gerakan Wahabi di Ponpes Karangasem, namun setelah melakukan beberapa kali pencarian, terutama di perpustakaan Ilmu Budaya Universita Gadjah Mada, skripsi itu gagal ditemukan. Asumsi sementara peneliti adalah skripsi itu sudah digudangkan, karena terkait tahun pembuatan skripsi yaitu 1993. Menurut peraturan perpustaan FIB, seluruh skripsi di bawah tahun 2000 telah digudangkan, dan yang disediakan pelayanannya hanya skripsi-skripsi dengan angka tahu 2000 ke atas.

Untuk pertama kalinya peneliti akan menganalisis sebuah skripsi yang ditulis oleh Handhy Setiawan H, Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Semarang, yang berjudul Dinamika Organisasi Muhammadiyah dalam Perebutan Pengaruh Massa di Kabupaten Rembang Tahun 1960-2000. Dalam skripsi ini Handhy menjelaskan bagaimana kerja keras Muhammadiyah di Rembang dalam upayanya mencari simpatisan. Ada tiga pokok pembahasan yang ditawarkan skripsi tersebut dalam menguraikan kendala Muhammadiyah mendapatkan massa di Rembang; Keadaan masyarakat yang majemuk, Dominasi Nahdlotul Ulama, dan Sumber daya manusia Muhammadiyah yang masih terbatas.

Untuk mensiasati keadaan itu Muhammadiyah Rembang membuat beberapa langkah strategis dengan menggunakan pelbagai pendekatan. Disebutkan ada pendekatan budaya, pendekatan dakwah, pendekatan ekonomi dan pendekatan pendidikan. Keempat pendekatan dalam skripsi itu saling bertaut satu dengan yang lain. Sampai pada akhirnya Muhammadiyah mendapat kedudukan penting di sekitar masyarakat Rembang yang majemuk.

Persamaan skripsi di atas dengan skripsi ini nantinya adalah mencoba menggambarkan situasi perkembangan Muhammadiyah di daerah utara Jawa. Kalau Handhy menjabarkan situasi di Pantura Rembang dalam skripsinya, maka skripsi ini akan menfokuskan penelitiannya pada masyarakat Pantura di Lamongan, khususnya Kecamatan Paciran dan sekitranya. Secara tipologi, pantai pesisir Lamongan mempunyai karakter masyarakat yang hampir sama dengan Rembang. Mereka sama-sama tegas, tidak banyak bunga-bunga dalam berdialektika, alias langsung ke pokok pembahasan.

Selain itu, kendala penyebaran Muhammadiyah di Rembang dengan di Paciran juga sama, sama-sama menghadapi struktur masyarakat pesisir yang heterogen. Selain tu adalah budaya adat masyarakat pesisir yang sangat kental. Waktu itu masih marak sekali di Paciran dan Brondong upacara Tutup Layar, sebagai bentuk syukur terhadap laut yang telah menyediakan mata pencaharian bagi mereka.

Perbedaan penelitian itu nantinya ada pada peran pesantren yang sangat menonjol. Meskipun dalam skripsi Handhy disinggung pula keberadaan pesantren, tapi itu tidak menjadi pokok utama, hanya sebatas lalu saja. Berbeda dengan skripsi ini. Skripsi ini benar-benar memberi porsi istimewa terhadap Pesantren Karangasem, yang jasanya terhadap Muhammadiyah tidak lah sedikit. Bahkan Ponpes Karangasem pernah pula menjadi kantor Pimpinan Muhammadiyah Daerah Lamongan, ketika berada di bawa kepemimpinan KH. Abdurrahman Rohman Syamsuri, dengan harapan bisa mempermudah proses administrasi.

Sebuah Upaya Memandang Pesantren
Untuk mempermudah penelitian ini akan digunakan beberapa ilmu bantu yang digunakan sebagai pisau dan alat bantu dalam menganalisis dalam melakukan pendekatan penelitian. Ada tiga pendekatan yang dipakai, pertama pendekatan struktural, masyarakat pesisir, dan yang ketiga adalah pendidikan Islam.

Dalam penulisan sejarah terbaru, sejarawan tidak hanya berkutat pada persoalan-persoalan klasik saja, semisal politik, akan tetapi sudah muncul keberanian untuk mencoba altenatif lain dalam penulisannya. Agama, sosial dan budaya menjadi tujuan baru penulisan sejarah, tentunya dengan menggunaan pendekatan-pendekatan yang sesuai dan tidak melanggar batas kajian masing-masing. Sebalikya, dalam melakukan kerja-kerja ilmu sosial juga menggunakan kecenderungan serta pola-pola umum kajian sejarah sebelum melakukan ramalan-ramalan masa yang akan datang.

Sebelumnya penelitian ini akan diklasifikasikan menjadi penelitian sejarah sosial, yaitu Pesantren adalah fenomena sosial yang terjadi di kalangan masyarakat. Begitu juga halnya dengan berdirinya Muhammadiyah di tengah-tengah masyarakat feodalistik Kraton Ngayogyokarto. Fenomena sosial itu terjadi karena proses dinamika masyarakat yang sangat dinamis dan terus berkemang. Pesantren, menurut Mastuhu, telah menjadi warisan budaya lokal yang patut dijaga kelestariannya telah mewarnai percampuran budaya yang banyak mewarnai keanekaragaman tradisi Nusantara.

Pendekatan pertama adalah pendekatan dengan teori struktural. Dalam teori ini masyarakat dilihat sebagai suatu totalitas yang berhubungan satu dengan yang lainnya dan yang mempunyai suatu dinamika dalam dirinya. Teori ini dipakai sebagai alat untuk melihat hubungan Kiai dengan Pesantrennya dalam memberi warna terhadap pola pikir masyarakat setempat. Mereka bergerak dan kemudian membentuk sebuah kesatuan harmonis, yang mana kesatuan itu saling berkesinambungan dan kontributif. Pesantren dan Masyarakat.

Tidak menarik jika tidak memasukkan konsep silang budaya ala Denys Lombard. Dalam tiga bukunya yang sangat terkenal “Nusa Jawa: Silang Budaya” Lombard menggambarkan bagaimana akulturasi budaya yang sangat komplek di Nusantara, terutama daerah-daerah yang berada di sepanjang Laut Jawa. Lombard menggambarkan kisaran pertengahan abad 19, Jawa adalah wilayah yang sangat ramai.

Lombard juga menjelaskan bagaimana keadaan umum masyarakat pesisir pada umumnya, yang terbentuk dari keadaan laut yang terus bergerak. Secara karateristik masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat pedalaman yang jauh dari laut, dengan memberi beberapa contoh. Gresik menempati urutan pertama untuk kekuatan armada, disusul oleh Batavia, Surabaya, dan Semarang. Dengan kondisi seramai itu, akan banyak terjadi persinggungan antara penduduk lokal dengan para pedagang pendatang, juga antara para pendatang dengan pendatang yang lain. Oleh sebab itu Lombard mengatakan bahwa Jawa adalah kondisi yang sangat komplek. Tidak akan pernah habis dan tuntas membahas Jawa. Kondisi inilah yang membedakan antara masyarakat pesisir dengan masyarakat pedalaman.

Membahas pesantren kita dihadapkan pada dua buah persoalan klasik pesantren itu sendiri. Pertama pola/konsep pendidikan dan kedua adalah agama (Islam). Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang pada awalnya memang difokuskan untuk memperdalam pengetahuan agama pemeluknya. Namun dengan berkembangnya waktu, ponpes tidak melulu berkutat pada permasalahan agama saja, tetapi telah ikut serta memberi sumbangsih nyata terhadap perkembangan sistem pendidikan Indonesia.

Nilai-nilai yang ditawarkan dalam sistem pendidikan pesantren adalah sistem pendidikan model Islam dengan tujuan membentuk pribadi muslim yang utuh mengembangkan seluruh potensi jasmaniah dan rohaniah manusia, menyeimbangkan dan mengembangkan hubungan yang harmonis setiap pribadi dengan tuhan, Allah, manusia dengan manusia dan juga alam semesta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar