Kamis, 29 Desember 2011

CACAT(AN) MENJELANG AKHIR TAHUN; Sebuah Apology Bagi yang Tak Berkesan dengan Tahun Baru

Ah, sebentar lagi tahun segera berganti. Entah kenapa, aku termasuk orang yang tidak terlalu merayakan pergantina tahun. Seperti hari biasa. Begitulah kesan yang sejak awal terpatri ketika mengingat sebuah fase dimana tahun berganti. Rasa biasa itu sama seperti ketika umurku bertambah tua. Tidak ada kesan yang berbeda, tidak ada sebuah perayaan yang luar biasa. Mungkin itu juga yang menyebabkan aku menjadi orang yang begitu pelit untuk berujar “Selamat Tahun Baru”, atau “Selamat ulang tahun”.

Memang benar, sebuah ucapan kadang berarti sebuah doa yang akan terasa nikmat jika disampaikan dengan sedikit hikmat. Ya terkadang juga dengan sedikit upacara ala kadarnya. Tapi, sekali lagi, itu belum bisa memberiku satu alasan pasti kenapa kata-kata itu harus terujar. Bahkan tragisnya, saja adalah orang yang pesimis dengan pergantian tahun. Terkesan, doa-doa, resolusi-resolusi, target-target adalah ilusi tai kucing, yang semakin menjadikan perut mual, mengalahkan perihnya serangan mag.

Mengucapkan serta merayakan pergantian tahun adalah hak semua bangsa, seperti yang tertera dalam undang-undang abal-abal bikinan founding fuckther. Tapi perlu dicatat, tahun baru berarti kemacetan baru, tahun baru adalah kejahatan baru, tahun baru adalah tai anjing baru, dan tahun baru adalah permasalahan baru. Bisa jadi, akuadalah orang yang paling pesimis dengan pergantian tahun. Lantas, apa mau dikata? Itu adalah hak akupula.

Ada banyak alasan kenapa akulebih memilih untuk menjauh dari pusat keramaian saat tahun baru. Pertama, akuadalah orang yang paling benci mendengar suara mercon. Dan kedua, karena aku bosan dengan segala bentuk keterlambatan dan kemacetan. Aku kira itu cukup menjadi alasanku kenapa akumembenci perayaan tahun baru. tentunya disamping alasan-alasan bangsat lainnya.

Selama lebih dari dua puluh tahun karirku hidup di jagat biadab ini, akutidak pernah merayakan tahun baru di tengah keramaian terompet. Kampungku benar-benar beruntung karena jauh dari binar terompet dan kembang api. Kami lebih memilih untuk menghabiskan sepertiga malam di kedai-kedai kopi favorit kami. Dan ibu-ibu? Tentu saja mereka lebih memilih untuk menikmati opera sabun kesayangannya lah, dari pada menyisihkan uang bensin mereka untuk sebentar menjamah kota.

Pesantren kembali menyelamatkanku dari perayaan pergantian tahun. Jujur, ini tidak ada hubungannya dengan aqidah yang selama ini kuanut. Ini murni sebuah pilihan, an sich. Tidak lebih tidak kurang, karena takut bid’ah. Hehehehe

Pun demikian halnya ketika kuliah di Jogja, yang memberi kesempatan lebih luas untuk sekadar menghabiskan pergantian tahun dengan sangat mewah. Dua tahun pertama aku lebih memilih kos sebagai ritual pergantian tahun. Tentu saja dengan tidur. Tiga tahun selanjutnya, dihabiskan dengan ritual bakar jagung di pelataran HIMA Sejarah, dan diteruskan dengan ngekem Jauh di selatan Jogja, tepatnya di sebuah pantai di Gunung Kidul.

Kisah yang tidak banyak berbeda juga saat ini tengah menggelayut padaku. Jujur tidak ada rencana besar untuk mengisi pergantian tahun. Aku cuma ingin pulang ke Jogja. Cukup. Titik. Namun, asa itu akan sulit tercapai. Kondisi benar-benar jauh dari perkiraan. Hanya beberapa rencana kecil saja yang tengah terlintas; tentu saja lari sejauh-jauhnya dari keramaian dan kemacetan tahun baru di Jakarta. Mungkin di kolong meja tempat saja bekerja, atau di pojokan kamar kos sembari bercumbu dengan buku baru. Ya, semoga.

Tabik!!

Kebun Jeruk, 30 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar