Kamis, 29 Desember 2011

CACAT(AN) MENJELANG AKHIR TAHUN; Sebuah Apology Bagi yang Tak Berkesan dengan Tahun Baru

Ah, sebentar lagi tahun segera berganti. Entah kenapa, aku termasuk orang yang tidak terlalu merayakan pergantina tahun. Seperti hari biasa. Begitulah kesan yang sejak awal terpatri ketika mengingat sebuah fase dimana tahun berganti. Rasa biasa itu sama seperti ketika umurku bertambah tua. Tidak ada kesan yang berbeda, tidak ada sebuah perayaan yang luar biasa. Mungkin itu juga yang menyebabkan aku menjadi orang yang begitu pelit untuk berujar “Selamat Tahun Baru”, atau “Selamat ulang tahun”.

Memang benar, sebuah ucapan kadang berarti sebuah doa yang akan terasa nikmat jika disampaikan dengan sedikit hikmat. Ya terkadang juga dengan sedikit upacara ala kadarnya. Tapi, sekali lagi, itu belum bisa memberiku satu alasan pasti kenapa kata-kata itu harus terujar. Bahkan tragisnya, saja adalah orang yang pesimis dengan pergantian tahun. Terkesan, doa-doa, resolusi-resolusi, target-target adalah ilusi tai kucing, yang semakin menjadikan perut mual, mengalahkan perihnya serangan mag.

Mengucapkan serta merayakan pergantian tahun adalah hak semua bangsa, seperti yang tertera dalam undang-undang abal-abal bikinan founding fuckther. Tapi perlu dicatat, tahun baru berarti kemacetan baru, tahun baru adalah kejahatan baru, tahun baru adalah tai anjing baru, dan tahun baru adalah permasalahan baru. Bisa jadi, akuadalah orang yang paling pesimis dengan pergantian tahun. Lantas, apa mau dikata? Itu adalah hak akupula.

Ada banyak alasan kenapa akulebih memilih untuk menjauh dari pusat keramaian saat tahun baru. Pertama, akuadalah orang yang paling benci mendengar suara mercon. Dan kedua, karena aku bosan dengan segala bentuk keterlambatan dan kemacetan. Aku kira itu cukup menjadi alasanku kenapa akumembenci perayaan tahun baru. tentunya disamping alasan-alasan bangsat lainnya.

Selama lebih dari dua puluh tahun karirku hidup di jagat biadab ini, akutidak pernah merayakan tahun baru di tengah keramaian terompet. Kampungku benar-benar beruntung karena jauh dari binar terompet dan kembang api. Kami lebih memilih untuk menghabiskan sepertiga malam di kedai-kedai kopi favorit kami. Dan ibu-ibu? Tentu saja mereka lebih memilih untuk menikmati opera sabun kesayangannya lah, dari pada menyisihkan uang bensin mereka untuk sebentar menjamah kota.

Pesantren kembali menyelamatkanku dari perayaan pergantian tahun. Jujur, ini tidak ada hubungannya dengan aqidah yang selama ini kuanut. Ini murni sebuah pilihan, an sich. Tidak lebih tidak kurang, karena takut bid’ah. Hehehehe

Pun demikian halnya ketika kuliah di Jogja, yang memberi kesempatan lebih luas untuk sekadar menghabiskan pergantian tahun dengan sangat mewah. Dua tahun pertama aku lebih memilih kos sebagai ritual pergantian tahun. Tentu saja dengan tidur. Tiga tahun selanjutnya, dihabiskan dengan ritual bakar jagung di pelataran HIMA Sejarah, dan diteruskan dengan ngekem Jauh di selatan Jogja, tepatnya di sebuah pantai di Gunung Kidul.

Kisah yang tidak banyak berbeda juga saat ini tengah menggelayut padaku. Jujur tidak ada rencana besar untuk mengisi pergantian tahun. Aku cuma ingin pulang ke Jogja. Cukup. Titik. Namun, asa itu akan sulit tercapai. Kondisi benar-benar jauh dari perkiraan. Hanya beberapa rencana kecil saja yang tengah terlintas; tentu saja lari sejauh-jauhnya dari keramaian dan kemacetan tahun baru di Jakarta. Mungkin di kolong meja tempat saja bekerja, atau di pojokan kamar kos sembari bercumbu dengan buku baru. Ya, semoga.

Tabik!!

Kebun Jeruk, 30 Desember 2011

Catatan dari Buitenzorg

Benar-benar tidak tahu apa yang harus ditulis malam mini. Akan tetapi setelah dipikir-pikir, pada hakikatnya semua hal bisa menjadi tulisan; termasuk gelisah, kemalasan, kepenatan, dan mungkin jkekosongan. Dan dini hari ini, saya benar-benar merasakan itu; sebuah kekosongan ikhwal apa yang hendak saya uraikan dalam sebuah narasi sederhana terkait hidup, kesenangan, dan apapun itu.

Saya menjoba mengingat-ngingat apa yang saya lalukan pada liburan minggu lalu. Tanpa rencana sebelumnya, kaki ini tiba-tiba menginjakkan kaki di stasiun kota yang selama ini menjadi target pribadiku. Buitenzorg, orang Belanda dulu menamainya begitu. Kota sejuk yang telah menjadi idaman sejak pertama kali muncul hobi iseng keliling-keliling kota tanpa maksud yang jelas. Tanpa maksud yang jelas dalam artian, tujuan saya keliling hanya untuk menghilangkan penasaran belaka. Kediri, Bandung, Malang, Jember, Bogor, Kota Tua Jakarta adalah kota-kota yang sempat terlintas dalam benak untuk menjadi objek kunjungan. Satu persatu kota itu disinggahi. Terlunasi. Terpenuhi. Dan juga terpuaskan. Namun ada satu kota yang belum sempat terjamah sama sekali. Kota itu adalah Bogor. Kota “eksotik” yang ada di ujung barat Jawa Barat—karena Banten sudah resmi memisahkan diri dari Jawa Barat.

***

Pagi itu, selepas bangun tidur, beberapa saat setelah menunaikan ibadah mencuci, muncul sebuah niat untuk sekadar bermain di kota yang belum terjamah itu. Keinginan itu semakin kuat ketika beberapa hari yang lalu, seorang kawan yang kuliah di Bogor bilang, bahwa ada kios yang menjual tas ourdoor bagus, dan murah. Tentu saja, itu menjadi salah satu alasan keisenganku menjamah Bogor, selain sebuah rasa penasaran akut yang telah mengakar sejak dulu; kisaran semester lima masa kuliah.

Untuk sampai di sana, ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Bukan transportasi yang menjadi kendala, akan tetapi sedikit kebingungan tentang dari mana saya harus berangkat. Antara Stasiun Juanda dan Stasiun Gambir. Di sini saya membuat sebuah pilihan yang salah. Saya mengira, bus yang saya tumpangi dari depan RCTI akan merayap melewati Gambir. Akan tetapi perkiraan itu benar-benar meleset. Selepas Juanda ternyata bus itu langsung menuju Senen. Pemberhentian terakhir.

Kebingungan tiba-tiba muncul. Saya menghampiri seorang supir bajaj, serta bertanya kepada pria tua itu. “Kalau ke Juanda berapa pak?” tanyaku basa-basi.

“20 ribu mas,” jawabnya singkat.

“Kalau ke Gambir berapa Pak?”

“lima belas mas!”, balasnya.

“Emang mau ke mana sih,” tanyanya lagi.

“Saya mau ke Bogor pak, naek kereta biasanya dari mana?”, jawabku basa-basi.

Setelah tawar menawar, saya memtuskan untuk berangkat ke Bogor via Juanda. Dan si supir bajaj mau saya kasih ongkos 10 ribu untuk dapat mengantarkan saya sampai seberang stasiun Juanda.

Tiket akhirnya berhasil saya pesan. Yang tujuhribuan lah, biar agak nyaman sedikit. Setelah menunggu beberapa saat, Toa yang tepat berada di atas kepala, mengeluarkan pengumuman bahwa kereta api listrik AC Ekonomi tujuan Bogor sudah berangkat dari stasion Kota. Tidak lama berselang, kereta itu benar-benar telah hadir di hadapanku. Tepat dengan jadwal yang telah tertera. “Sejak kapan Indonesia pakai jam beneran ya? Bukannya kita selama ini sering menggunakan jam karet,” pikirku dalam hati.

Saya masuk ke kereta yang gerbongnya bekas dari Jepang ini. Di dalam telah penuh sesak. Beberapa orang menggantung. Saling berebut celah untuk sekadar mendapat tempat paling pinggir. Itung-itung bisa ngelihat pemandangan sepanjang perjalanan Jakarta-Bogor. Saya mengambil posisi paling dekat dengan pintu. Tulisan “dilarang bersandar” tertera jelas di pintu kereta. Itu tandanya saya tidak boleh bersandar, padahal saya begitu capek.

Kereta berjalan pelan. Stasiun demi stasiun terlewati. Gedung-gedung menjulang bersanding dengan rumah-rumah kumuh sepanjang rel. Sepertinya itu telah menjadi pemandangan yang cukup asri bagi masyarakat Jakarta sehari-hari. Saya? Cukup acuh saja. Yang terpenting bagiku adalah segera sampai di Bogor.

Sekitar pukul dua siang, saya sampai di Bogor. Stasiun Bogor tepatnya. Tujuan saya adalah Institut Pertanian Bogor. Ada beberapa kawan yang masih aktif menjadi mahasiswa di kampus itu. Setelah melakukan beberapa kali kontak dan saling berkirim sms, kita sepakat untuk menjadikan kosnya sebagai tempat singgah sementara saya selama di Bogor.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya tidak ada yang istimewa di Bogor hari itu. Semua aktivitas berjalan seperti biasa. Stagnan dan cenderung membosankan. Akan tetapi Bogor—bagiku—mempunyai suasana yang berbeda. Mungkin ini agak berlebihan. Tapi jujur, bagi orang yang baru pertama kali ke sana, Bogor adalah tempat yang benar-benar nyaman. Suasananya, suhunya, dan jangan lupa perempuannya.

Tak hanya itu, meski hanya beberapa jam berada di sana, itu cukup menghilangkan sedikit rasa penasaranku terhadap kota bikinan Eropa-Belanda itu. Kiranya tidak salah jika para pendatang dari benua biru itu memilih Bogor.

Tidak banyak yang bisa dibagi dari Bogor. Sebuah tulisan pendek tentu saja tidak akan cukup untuk merankai sebuah narasi terkait keelokan Bogor. Mungkin hanya sebuah anjuran yang bisa terujar; bahwa bogor adalah tempat yang benar-benar layak untuk diobrolkan.

Senin, 01 Agustus 2011

SEKILAS HUBUNGAN “MESRA” PESANTREN DENGAN MUHAMMADIYAH

(Studi Kasus Ponpes Karangasem, Paciran, Lamongan)

Latar Belakang Masalah
Mastuhu mencatat bahwa perkembangan pesantren di Indonesia telah berlangsung sejak 300 sampai 400 tahun yang lalu. Sebuah angka yang tidak sedikit untuk sebuah babakan waktu dalam sejarah. Perkembangan pesantren sebenarnya diilhami oleh keilmuan Islam yang dipadukan dengan nilai-nilai tradisi bangsa. Oleh sebab itu, dengan usianya yang panjang pesantren telah menjadi bagian dari warisan dan tradisi Bangsa Indonesia.

Pesantren banyak berkembang dalam ranah perkembangan pendidikan, terutama pendidikan Islam. Ki Hajar Dewantara mencatat bahwa sistem pendidikan pesantren adalah sistem pendidikan nasional, bahwa dalam pendidikan pesantren terdapat sebuah harmonisasi klasik antara guru dengan para muridnya. Harmonisasi ini pada akhirnya akan menciptakan pola pendidikan yang baik dan teratur.

Meskipun demikian, tidak bisa serta merta mengabaikan peranan besar pesantren terhadap dinamika masyarakat di pesantren itu tumbuh dan berkembang. Tampak nyata dalam tulisan Sartono, yang mengupas tuntas fakta-fakta unik tentang pergerakan sebuah sekelompok petani lokal dalam upayanya melawan hegemoni kolonial Belanda di Banten sekitar tahun 1888. Ternyata, salah satu golongan yang mempunyai peranan cukup penting adalah golongan santri, yaitu mereka yang pernah bersinggungan dengan pesantren. Santri-santri itu secara terorganisir melancarkan agitasi-agitasi. Semisal bahwa Belanda adalah kafir dan tidak seiman dengan mereka. Ditambahkan pula bahwa mereka itulah yang menyebabkan segala malapetaka di sekitar mereka.

Meskipun pemberontakan para petani Banten dapat segera dipadamkan, akan tetapi gerakan kaum santri tidak berhenti sampai di situ saja. Seiring berjalannya roda dinamika sejarah Indonesia, sepanjang itu pula keikutsertaan kaum santri menyumbangkan andilnya dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa ini. Sampai kemudian muncullah era Politik Etis Hindia Belanda yang semakin memberi angin sejuk untuk gerakan santri.

Politik etik merupakan politik “Balas Budi” pemerintah kolonial Belanda kepada masyarakat pribumi. Politik etik ini seterusnya membuka keran-keran intelektualitas masyarakat bumiputra, yang sebelumnya hanya dimiliki para pendatang dan keturunan Eropa. Salah satu dampaknya adalah jiwa-jiwa nasionalisme yang dituangkan dalam pelbagai media, baik itu gerakan pelajar atau yang berbasis kedaerahan, sebagai contoh adalah Jong Java, Jong Sumatra, dan Jong Ambon.

Awalnya, politik balas budi Belanda masih terbatas untuk kalangan elit belaka. Kebijakan ini hanya berlaku bagi mereka yang mempunyai kedudukan birokrasi dalam pemerintahan, atau kalau tidak seperti itu, biasanya mereka yang berasal dari kalangan ningrat dan pegawai rendahan, semisal Wedana dan kepala desa. Tidak terkecuali adalah kalangan santri dan priyayi. Momen inilah yang kemudian dimanfaatkan dengan cerdik oleh Mohammad Darwisy ketika menjadi salah satu katib di Kesultanan Yogyakarta.

Mohammad Darwis atau Ahmad Dahlan yang waktu itu juga aktif di BO (Boedi Oetomo) mendapat tantangan dari kawan-kawan sejawatnya untuk membuat sebuah lembaga pendidikan yang dipusatkan dalam bidang keagamaan. Setelah berdiskusi dan mendapat masukan dari beberapa temannua, Dahlan akhirnya mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta 18 pada November 1912. Di tengah pengaruh keraton yang sangat kuat, tampaknya Muhammadiyah tidak begitu berhasil menyebarkan paham puritanisasinya.
Muhammadiyah dengan slogan yang dia usung, pemberantasan TBC (Tahayul, Bid’ah dan Churofat), yang telah mendarah daging di kalangan masyarakat Jawa waktu itu. Kenyataan itu memang terbukti menghambat ruang gerak Muhammadiyah sampai tahun 1914. Pasca itu Muhammadiyah mendapat kesempatan untuk memperluas fahamnya ke daerah-daerah sekitar Yogyakarta. Muhammadiyah mendapatkan sambutan yang cukup antusias di luar Yogyakarta, salah satu penyebabnya adalah karena Muhammadiyah tidak melibatkan dirinya untuk terlibat langsung ke dalam politik praktis, dan tentunya Muhammadiyah awal sangat terasa ke-Jawa-annya.

Tahun 1921 Muhammadiyah secara resmi berdiri di Surabaya, Jawa Timur. Tokoh yang paling berperan dalam perkembangan Muhammadiyah Surabaya adalah K.H Mas Mansur yang juga dibantu oleh beberapa tokoh lokal kenamaan seperti K. Usman, H. Asyhari Rawi, dan H. Ismail. Penyebaran Muhammadiyah di Surabaya inilah yang menyebabkan arus penyebaran Muhammadiyah di Jawa Timur terus meningkat, salah satunya di Lamongan.
Poros penyebaran Muhammadiyah di Lamongan terdapat di tiga titik penting, Blimbing, Pangkatrejo, dan Kota Lamongan sendiri. Khususnya di Blimbing, yang merupakan daerah pesisir, Muhammadiyah mendapat sambutan yang sangat luar biasa. Perkembangan Muhammadiyah di Lamongan Utara juga berbanding lurus dengan perkembangan pondok pesantren (ponpes) baik tradisional atau modern. Untuk selanjutnya kedua elemen itu saling bersinergi dan bertaut memberi sumbangan nyata terhadap perkembangan masyarakat Lamongan Utara, hal yang sebenarnya tidak lazim terjadi dalam proses penyebaran Muhammadiyah. Salah satu ponpes yang ikut andil waktu itu adalah ponpes Karangasem. Sebuah ponpes yang terletak di Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Lamongan.

Pada akhirnya penelitian skripsi ini akan dipusatkan pada peranan Ponpes Karangasem terhadap perkembangan Muhammadiyah di Lamongan, khususnya Lamongan bagian utara. Hal ini mengingat bahwa dinamika masyarakat Lamongan sangat lekat hubungannya dengan banyaknya ponpes yang berdiri di sana. Salah satunya adalah Ponpes Karangasem yang didirikan oleh K.H Abdurrahman Rahman Syamsuri, masyarakat sekitar akrab memanggil Yi Man.Secara resmi ponpes Karangasem didirikan oleh Yi Man pada tahun 1948, yang bermula dari sebuah langgar milik kakeknya, Kiai Idris, tahun 1930. Ketika menunaikan ibadah haji di Mekah tahun 1939 Kiai Idris, yang merupakan kakek Yi Man meninggal dunia. Selanjutnya perawatan dan penggunaannya diserahkan kepada KH Ridlwan dan KH Syamasuri, adapun KH. Syamsuri sendiri adalah ayah kandung dari KH. Abdurrahman Syamsuri. Tahun 1944, Yi Man, yang waktu itu masih mondok di Kediri dipanggil oleh ayahnya untuk diserahi tugas mengurusi langgar tersebut. Setelah resmi mengambil pengurusan langgar dari ayahnya, sedikit demi sedikit banyak santri yang datang ke sana, dan tahun 1948 Yi Man meresmikan langgar tersebut sebagai sebuah pondok pesantren.

Dari paparan latar belakang diatas, sebenarnya penelitian ringan ini berupaya menuliskan sebuah kegelisahan yang terus bergelayut dan membebani diri terkait; Bagaimana keadaan umum masyarakat Lamongan terkait perkembangan pesantren dari tahun ke tahun. Sekilas, perkembangan pesantren ternyata berimbas terhadap perkembangan beberapa organsisasi sosial keagamaan, salah satunya adalah Muhammadiyah. Terkait dengan perkembangan Muhammadiyah, ponpes karangasem—objek penelitian—ternyata mempunyai peranan vital yang sulit untuk dilepaskan begitu saja, lantaran kedua elemen ini mempunyai pola hubungan sismbiosis mutualis yang begitu kuat.

Kajian Pustaka
Pesantren secara umum diketahui oleh khalayak adalah sebuah lembaga pendidikan yang dikhususkan untuk menempa para santrinya dalam memahami ikhwal keagamaan. Pesantren, dalam perkembangannya telah membuat corak khusus atas dirinya sendiri, yang sama sekali berbeda dengan pola-pola pendidikan umum kala itu. Akan tetapi, seiring dengan berekembangnya waktu, dan semakin meruncingnya kebutuhan, termasuk pendidikan umum, maka pesantren, yang awalnya hanya berkutat pada ranah agama mengubah orientasinya, terutama dalam bidang pendidikan. Kondisi ini mendorong Ahmad Dahlan untuk mendirkan Muhammadiyah. Dia memberi sebuah warna yang baru dalam perkembangan pendidikan, campuran agama dan ilmu umum. Dalam kajian umum ini, akan dibahas secara singkat, yang diharapkan bisa menjadi hipotesa awal terkait penelitian ini. Tujuannya untuk mencari sebuah benang merah yang tercecer entah dimana.
Islam Pesisir
Menurut Nur Syam dalam disertasinya, masyarakat Islam Pesisir adalah sebuah masyarakat Islam yang komplek, yang sangat jauh berbeda dengan Islam pedalaman secara umum. Demikian halnya dengan keberadaan agama di pesisir, termasuk Islam. Ada anggapan pula bahwa Islam yang masuk ke Jawa bukan Islam yang benar-benar murni, tetapi ada sentuhan adat lokal dari para penyebar Islam itu sendiri.

Keberadaan dan penyebaran Islam di pesisir juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah iklim dan keadaan masyarakat pesisir itu sendiri. Masyarakat pesisir yang terkenal keras dan ceplas-ceplos menjadi pengaruh tersendiri terhadap perkembangan Islam. Untuk masalah sinkritisme terhadap budaya-budaya lokal, sepertinya Islam pesisir jauh lebih sedikit dari pada yang terjadi di pedalaman.

Sebagai contoh konkrit adalah bagaimana membedakan antara Muhammadiyah pesisir dengan Muhammadiyah yang ada di pedalaman. Muhammadiyah pesisir lebih menekankan kepada proses ibadah yang subtantive. Berbeda dengan Muhamadiyah pedalaman yang dalam beberapa amalan hariannya, tidak berbeda jauh dengan golongan Nahdhiyin, yang masih kental menjaga warisan budaya dan tardisi serta kearifan lokal keadaerahan.

Muhammadiyah
Muhammdiyah didirikan pada 18 November 1912 oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Inisiatif awal pendirian organisasi ini adalah munculnya beberapa usulan dari para muridnya dan beberapa orang yang tergabung dalam Boedi Oetomo untuk mendirikan sebuah organisasi yang bersifat permanen. Muhammadiyah Lamongan menurut bukunya Syuhadi yang berjudul Mengenang Perjuangan Sejarah Muhammadiyah Lamongan 1936-2005, secara organisatoris resminya berdiri tahun 1967 berdasar SK PP Muhammadiyah No. C-076/D-13, tanggal 11 September 1967, yang saat itu masih membawahi enam cabang.

Sebagai organisasi Islam modern tentunya Muhammadiyah mempunyai konsep modernisasi tersendiri. Pertama adalah menyelamatkan ketertinggalan umat Islam Indonesia dari percaturan modernitas, dan kedua adalah begitu jauhnya umat Islam terlepas dari semangan al-quran dan keteladanan Muhammad. Sazali dalam bukunya “ Muhammadiyah & Masyarakat Madani, Independensi, Rasionalitas, dan Pluralisme” menjelaskan bagaimana Ahmad Dahlan lebih tertuju pada usaha pencerahan dan pencerdasan umat, yang merupakan suatu strategi sosial-budaya yang memiliki dampak sangat jauh dalam pengembangan kualitas individu.

Selain itu, berdirinya Muhammadiyah juga terinspirasi dari perkembangan faham wahabi. Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa Muhammadiyah bukan wahabi, karena ada beberapa hal yang ada di Muhammadiyah akan tetapi tidak ada di wahabi.

Pesantren
Pesantren menurut Steenbrink dalam bukunya Pesantren Madrasah Sekolah adalah lembaga pendidikan yang identik dengan sistem pendidikan Islam, yang di dalamnya dilandaskan pada pengajaran Al-Qur’an dan Bahasa Arab yang mendalam. Penguatan bahasa Arab tujuannya adalah sebagai bekal untuk mempersiapkan diri dalam penguasaan kitab. Berbeda dengan metode pembelajaran bahasa arab pada umumnya, Streenbrink menjabarkan bahwa Bahasa Arab yang pertama kali yang dipelajari adalah dalam bentuk sajak dan syair. Para murid dituntut untuk menghapal tanpa salah, kemudian isinya dijelaskan kata demi kata oleh guru kepada mereka.

Menurut Aboebakar Atjeh pesantren adalah tempat berkumpul santri-santri, tempat penginapan dan atau asrama dan tempat mereka menerima pelajaran-pelajaran yang bertali dengan agama Islam. Prasojo menambahkan bahwa pesantren harus mempunyai pengakuan dari lingkungan masyarakat tertentu terhadap kelebihan di bidang agama (Islam) dan kesalihan seorang ulama, yang biasa disebut kiai, sehingga masyarakat itu datang untuk menuntut ilmu kepada kiai di pesantren itu.

Secara terminologi dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren dilihat dari bentuk dan sistemnya, berasal dari India, yang sebelumnya banyak digunakan oleh agama Hindu, bahkan beberapa istilah yang berhubungan dengan pesantren juga berasal dari India. Elemen yang paling berpengaruh dalam heirarki pesantren adalah kiai. Secara umum kiai adalah sebutan bagi ulama-ulama yang mempunyai pesantren, khususnya yang berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kiai identik dengan pesantren yang mereka anggap sebagai kerajaan kecil bagi mereka, yang di dalamnya kiai dapat menentukan kewenangan mutlak terhadap kehidupam pesantren tersebut. Menurut Azra kiai adalah penafsir sah dari sumber-sumber asli ajaran Islam, yaitu Qur’an dan Hadis.

Ponpes Karangasem juga bergantung kepada sosok kiai. Dalam perkembangannya kiai mempunyai peran besar terhadap perubahan pola pendidikan di Ponpes Karangasem dari pesantren salaf ke pesantren modern. Salaf yaitu menggunakan metode pengajaran ponpes tradisional dengan metode pengajaran halaqah dengan banyak kitab, sedangkan ponpes modern lebih menggunakan model pendidikan pesantren modern dengan memasukkan sistem klasikal di dalamnya.

Sekadar Pembanding

Sejarah, seperti yang banyak disebut dalam beberapa buku pengantar ilmu sejarah mempunyai sifat yang unik. Unik berarti bahwa peristiwa sejarah hanya berlangsung sekali saja. Dalam perkembangannya kita akan disuguhkan dengan pelbagai peristiwa sejarah yang mempunyai kemiripan baik itu terkait ruang, waktu, dan peristiwa. Oleh sebab itu, untuk memberi dan menjelaskan perbedaan antar satu penelitian dengan penelitian lainnya, perlu dilakukan perbandingan-perbandingan.

Historiografi yang relevan berarti upaya membandingkan sebuah penelitian yang akan dilangsungkan dengan penelitian-penelitian sejarah yang telah ada. Tujuannya adalah supaya didapatkan karya sejarah yang benar-benar baru, dengan harapan tidak terjadi repetisi pembahasan, apalagi plagiarisme yang sekarang ini marak.

Pada awalnya rujukan karya sejarah yang menurut peneliti paling relevan adalah skripsi yang berjudul Gerakan Wahabi di Ponpes Karangasem, namun setelah melakukan beberapa kali pencarian, terutama di perpustakaan Ilmu Budaya Universita Gadjah Mada, skripsi itu gagal ditemukan. Asumsi sementara peneliti adalah skripsi itu sudah digudangkan, karena terkait tahun pembuatan skripsi yaitu 1993. Menurut peraturan perpustaan FIB, seluruh skripsi di bawah tahun 2000 telah digudangkan, dan yang disediakan pelayanannya hanya skripsi-skripsi dengan angka tahu 2000 ke atas.

Untuk pertama kalinya peneliti akan menganalisis sebuah skripsi yang ditulis oleh Handhy Setiawan H, Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Semarang, yang berjudul Dinamika Organisasi Muhammadiyah dalam Perebutan Pengaruh Massa di Kabupaten Rembang Tahun 1960-2000. Dalam skripsi ini Handhy menjelaskan bagaimana kerja keras Muhammadiyah di Rembang dalam upayanya mencari simpatisan. Ada tiga pokok pembahasan yang ditawarkan skripsi tersebut dalam menguraikan kendala Muhammadiyah mendapatkan massa di Rembang; Keadaan masyarakat yang majemuk, Dominasi Nahdlotul Ulama, dan Sumber daya manusia Muhammadiyah yang masih terbatas.

Untuk mensiasati keadaan itu Muhammadiyah Rembang membuat beberapa langkah strategis dengan menggunakan pelbagai pendekatan. Disebutkan ada pendekatan budaya, pendekatan dakwah, pendekatan ekonomi dan pendekatan pendidikan. Keempat pendekatan dalam skripsi itu saling bertaut satu dengan yang lain. Sampai pada akhirnya Muhammadiyah mendapat kedudukan penting di sekitar masyarakat Rembang yang majemuk.

Persamaan skripsi di atas dengan skripsi ini nantinya adalah mencoba menggambarkan situasi perkembangan Muhammadiyah di daerah utara Jawa. Kalau Handhy menjabarkan situasi di Pantura Rembang dalam skripsinya, maka skripsi ini akan menfokuskan penelitiannya pada masyarakat Pantura di Lamongan, khususnya Kecamatan Paciran dan sekitranya. Secara tipologi, pantai pesisir Lamongan mempunyai karakter masyarakat yang hampir sama dengan Rembang. Mereka sama-sama tegas, tidak banyak bunga-bunga dalam berdialektika, alias langsung ke pokok pembahasan.

Selain itu, kendala penyebaran Muhammadiyah di Rembang dengan di Paciran juga sama, sama-sama menghadapi struktur masyarakat pesisir yang heterogen. Selain tu adalah budaya adat masyarakat pesisir yang sangat kental. Waktu itu masih marak sekali di Paciran dan Brondong upacara Tutup Layar, sebagai bentuk syukur terhadap laut yang telah menyediakan mata pencaharian bagi mereka.

Perbedaan penelitian itu nantinya ada pada peran pesantren yang sangat menonjol. Meskipun dalam skripsi Handhy disinggung pula keberadaan pesantren, tapi itu tidak menjadi pokok utama, hanya sebatas lalu saja. Berbeda dengan skripsi ini. Skripsi ini benar-benar memberi porsi istimewa terhadap Pesantren Karangasem, yang jasanya terhadap Muhammadiyah tidak lah sedikit. Bahkan Ponpes Karangasem pernah pula menjadi kantor Pimpinan Muhammadiyah Daerah Lamongan, ketika berada di bawa kepemimpinan KH. Abdurrahman Rohman Syamsuri, dengan harapan bisa mempermudah proses administrasi.

Sebuah Upaya Memandang Pesantren
Untuk mempermudah penelitian ini akan digunakan beberapa ilmu bantu yang digunakan sebagai pisau dan alat bantu dalam menganalisis dalam melakukan pendekatan penelitian. Ada tiga pendekatan yang dipakai, pertama pendekatan struktural, masyarakat pesisir, dan yang ketiga adalah pendidikan Islam.

Dalam penulisan sejarah terbaru, sejarawan tidak hanya berkutat pada persoalan-persoalan klasik saja, semisal politik, akan tetapi sudah muncul keberanian untuk mencoba altenatif lain dalam penulisannya. Agama, sosial dan budaya menjadi tujuan baru penulisan sejarah, tentunya dengan menggunaan pendekatan-pendekatan yang sesuai dan tidak melanggar batas kajian masing-masing. Sebalikya, dalam melakukan kerja-kerja ilmu sosial juga menggunakan kecenderungan serta pola-pola umum kajian sejarah sebelum melakukan ramalan-ramalan masa yang akan datang.

Sebelumnya penelitian ini akan diklasifikasikan menjadi penelitian sejarah sosial, yaitu Pesantren adalah fenomena sosial yang terjadi di kalangan masyarakat. Begitu juga halnya dengan berdirinya Muhammadiyah di tengah-tengah masyarakat feodalistik Kraton Ngayogyokarto. Fenomena sosial itu terjadi karena proses dinamika masyarakat yang sangat dinamis dan terus berkemang. Pesantren, menurut Mastuhu, telah menjadi warisan budaya lokal yang patut dijaga kelestariannya telah mewarnai percampuran budaya yang banyak mewarnai keanekaragaman tradisi Nusantara.

Pendekatan pertama adalah pendekatan dengan teori struktural. Dalam teori ini masyarakat dilihat sebagai suatu totalitas yang berhubungan satu dengan yang lainnya dan yang mempunyai suatu dinamika dalam dirinya. Teori ini dipakai sebagai alat untuk melihat hubungan Kiai dengan Pesantrennya dalam memberi warna terhadap pola pikir masyarakat setempat. Mereka bergerak dan kemudian membentuk sebuah kesatuan harmonis, yang mana kesatuan itu saling berkesinambungan dan kontributif. Pesantren dan Masyarakat.

Tidak menarik jika tidak memasukkan konsep silang budaya ala Denys Lombard. Dalam tiga bukunya yang sangat terkenal “Nusa Jawa: Silang Budaya” Lombard menggambarkan bagaimana akulturasi budaya yang sangat komplek di Nusantara, terutama daerah-daerah yang berada di sepanjang Laut Jawa. Lombard menggambarkan kisaran pertengahan abad 19, Jawa adalah wilayah yang sangat ramai.

Lombard juga menjelaskan bagaimana keadaan umum masyarakat pesisir pada umumnya, yang terbentuk dari keadaan laut yang terus bergerak. Secara karateristik masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat pedalaman yang jauh dari laut, dengan memberi beberapa contoh. Gresik menempati urutan pertama untuk kekuatan armada, disusul oleh Batavia, Surabaya, dan Semarang. Dengan kondisi seramai itu, akan banyak terjadi persinggungan antara penduduk lokal dengan para pedagang pendatang, juga antara para pendatang dengan pendatang yang lain. Oleh sebab itu Lombard mengatakan bahwa Jawa adalah kondisi yang sangat komplek. Tidak akan pernah habis dan tuntas membahas Jawa. Kondisi inilah yang membedakan antara masyarakat pesisir dengan masyarakat pedalaman.

Membahas pesantren kita dihadapkan pada dua buah persoalan klasik pesantren itu sendiri. Pertama pola/konsep pendidikan dan kedua adalah agama (Islam). Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang pada awalnya memang difokuskan untuk memperdalam pengetahuan agama pemeluknya. Namun dengan berkembangnya waktu, ponpes tidak melulu berkutat pada permasalahan agama saja, tetapi telah ikut serta memberi sumbangsih nyata terhadap perkembangan sistem pendidikan Indonesia.

Nilai-nilai yang ditawarkan dalam sistem pendidikan pesantren adalah sistem pendidikan model Islam dengan tujuan membentuk pribadi muslim yang utuh mengembangkan seluruh potensi jasmaniah dan rohaniah manusia, menyeimbangkan dan mengembangkan hubungan yang harmonis setiap pribadi dengan tuhan, Allah, manusia dengan manusia dan juga alam semesta.

Minggu, 28 November 2010

Sebuah Catata Perjalanan Seputaran Meletusnya Merapai (1)

Kamis, (4/11) malam, menuju jam 00.00 WIB dini hari, saya dengan sekitar 5 teman saya baru saja pulang dari ritual wajib tiap malam menginjak jam Sembilan keatas, ngopi. Tidak ada firasat apapun malam itu, yang jelas waktu Merapi sangat eksplosif. Akan tetapi tidak ada firasat sama sekali bahwa malam itu adalah “puncaknya”. Beberapa teman asik dengan film lawas yang baru didapat oleh salah seorang teman, “Machete”, film sadis yang memerankan bejibun bintang film Hollywood.

Tidak lama menikmati prolog film, tiba-tiba ada ketokan pintu. Rupanya Ndro, dia memberitahu kami bahwa telah terjadi huhan kerikil yang begitu lebat. Penasaran. Kami langsung keluar, dan memang benar. Suara asbes di atas kami begitu riuh oleh gempuran kerikil yang kira-kira sebesar biji merica itu. Sekadar info bahwa letusan merapi malam itu merupakan letusan terbesar Merapi selama lebih dari satu abad. Bahkan jauh lebih besar dari ledakan sepuluh bulan gunung galunggung.

Rasa penasaran kami semakin membesar, “Di Sebelah Atmajawa—Univ.Atmajaya—mungkin terlihat kondisi Merapi. Kami bergegas ke sana. Hasilnya nihil. Keadaan ini semakin membuat rasa penasaran kami semakin menggebu, dan kami memutuskan untuk menuju jalan Affandi—dulu Gejayan—sambil mencari beberapa masker untuk persiapan. Merapi tetap saja tidak bisa dipantau dari Gejayan, namun kami bisa melihat kondisi yang lain, salah satunya adalah banyak pengungsi yang memilih untuk meninggalkan Jogja atas dan lebih memilih ke bawah. Kabarnya Posko pengungsian di UII juga dikosongkan, karena UII nyata-nyata telah menjadi sasaran empuk Hujan abu plus kerikil dini hari itu.

Dini hari ini menjadi begitu mencekam, karena semua orang terlihat sangat panic. Kabarnta banyak sekali korban mala mini. Awan Panas—yang lebih masyhur dengan Wedhus Gembel—dengan pongahnya melahap dan menyapu bersih sisa-sisa peradaban di sebagian besar kecamatan cangkringan, bahkan sampai radius 15 km dari Gunung Merapi.

Sangat ingin rasanya berbagi dan membantu para pengungsi Merapi yang lagi suka bergurau. Tapi beberapa pertanyaan dalam benak kami. “apa yang bisa kita bantu saat ini? Kita tidak berbekal banyak logistic. Mau membantu sebagai relawan kita tidak tahu seperti apa prosedurnya, malah-malah kita yang nantinya akan menjadi beban. Untuk itu, sementara ini kami menunggu perkembangan terlebih dahulu.

Esoknya, kami belum bisa berbuat apa-apa. Bahkan ketika itu muncul ide jahannam dari otak ini untuk melarikan diri ke Bantul, “mungkin akan lebih aman disana”, batinku menggerutu. Dan memang akhirnya saya memilih untuk pergi ke Bantul—tepatnya rumah Sjam. Akan tetapi saya sempat menitip pesan ke bebarap kawan, “jika memang nanti mau menjadi relawan dan tenaga saya dibutuhkan saya siap dikontak”, masih agak ragu.

Tepat pukul satu, setelah menunaikan solah jumat, saya melihat siaran TV bahwa GOR UNY sudah mulai digunakan sebagai posko pengungsian, dan tidak lama kemudian saya mendapat sms dari Irul bahwa Jogja butuh banyak relawan untuk menyalurkan logistic. Meski saya belum tahu mau membantu dimana. Bayangan saya waktu itu, minimal bisa mebantu di GOR lah. Sampai UNY, keadaan telah begitu ramai. Mahasiswa dari pelbagai latarbelakang jurusan terlihat telah begitu siap untuk mengabdikan diri atas nama kemanusiaan. Persiapan dasar logistic telah banyak terkumpul, tapi saya yakin itu akan sangat kekurangan nantinya. Masker sudah pada tergantung gagah di bagian bawah muka masing-masing relawan. Tersirat sebuah heroisme “ Mari Rapatkan barisan atas nama Humanisme”.

Saya, Sjam, Irul, dan Irul hanya ikut membatu, coordinator diserahkan sepenuhnya pada teman-teman baru. Ndro tidak bisa menemani kami, karena baru saja dapat info bahwa kakeknya baru saja dipanggil Sang Moho Agung menghadap.

Waktu rasanya lama sekali, kami ingin segera menjadi seorang relawan. Mungkin saja, waktu itu saja tiba-tiba menjadi seseorang humanis lagi moralis. Saya ingin membantu saudara, bahkan himbauan Emak dan Kakak saya untuk pulang kampung saya tolak. “Mak, Cak aku pengen ngewangi Arek-arek ne kene, njalok dongane sampean ae..”, bisik batinku kala itu.

Sekitar pukul lima sore kita menuju lokasi, SMP 2 Kalasan. Meski kabar masih simpang siur apakah ada pengungsi di sana, tapi kami tetap bertekad untuk pergi kesana. Sempat beberapa salah jalur dan salam tempat akhirnya kami sampai di lokasi itu. Akan tetapi sepanjang perjalanan hari saya sudah merasa tidak enak. “Mbah ketoe wes gak enek peradaban maneh ne kene”, kataku pada Sjam. Kembali ke SMP 2 Kalasan. Benar dugaanku dengan Sjam, SMP 2 telah nyata-nyata tergembok rapat, dan tanpa berfikir panjang lagi saya memutuskan untuk mengajak teman-teman segera turun. Asumsi saya waktu itu adalah kita tidak tahhu kemungkinan terbesarnya seperti apa, kita tidak ada yang tahu medan dan tidak ada yang membacking, selain itu berapa jarah SMP 2 Kalasan dengan Gunung Merapi? Itu pertanyaan besarku sama Sjam waktu itu.

Setelah diskusi kecil, kami memutuskan menyuplai barang ke posko pengungsian Klaten via Prambanan. Akan tetapi permasalah tidak berhenti sampai disitu saja. Adalah keegoisan teman-teman Ilmu sejarah yang bersikukuh membedakan tujuan pengiriman. Saya tidak berhak menyalahkan mereka, karena toh itu usaha mereka. Yang saya sesalkan kenapa tidak ada koordinasi sebelumnya, agar jelas kemana mau di drop barang-barang logistic itu.

Setelah berdebat panjang-lebar akhirnya diputuskan bahwa sebagian barang di kirim ke Klaten dan sebagian besar dibawa kembali ke Yogyakarta—baik itu di Paingan ataupun di Maguwo.

Menjadi orang yang menyembah pada nilai-nilai humanisme memang tidak semudah membalikkan tangan, segala sesuatu ada saja rintangannya. Tabik!

Uny, wi-fi dan egoism

Beberapa hari yang lalu, ketika saya melewati Garden Café (GC)—Café punya UNY—tidak tahu kenapa saya tertarik mengamati beberapa orang yang sedang duduk-duduk di beberapa kursi yang disediakan café itu, sebagian juga ada yang lesehan. Tidak seperti biasa, yang agak cuek mengamati GC, kali ini aku begitu memperhatikan pemandangan di beberapa sudut GC itu. Orang-orang terlihat begitu khusu’, bukan karena mereka sedang berdzikit atau bermunajat kepada Tuhan-tuhan mereka, melainkan mereka khusu’ dengan tidak hentinya tangan mereka memainkan kurson laptop-laptop di depan mereka.

Dalam hati, muncul sedikit nada bangga dengan fenomena ini. Bagaimana tidak? Nampaknya kita sudah lagi terjangkit virus-virus gaptek, karena ternyata sudah banyak mahasiswa UNY yang megang laptop—dalam artian sudah pada punya laptop. Namun ada hal aneh yang juga saya tangkap dari sekilas pengamatan saya. Yaitu GC terlihat sepi, tidak ada cengkrama antara satu dengan yang lain, tidak ada diskusi kere, dan tidak ada saling sapa dan tutur. Semuanya terlarut dalam ruangan semu yang bernama internet.

Sekitar tiga tahun yang lalu—kalau aku tidak lupa—UNY marak sekali isu wi-fi, jadi dimana-mana, di antero sudut UNY akan bisa digunakan untuk internetan. Sontak, ini menjadi berita bahagia bagi mereka yang biasa berselancar ke dunia maya, termasuk saya tentunya. Caranya pun mudah, tinggal datang ke (Pusat Komputer) PUSKOM UNY, kita registrasi di sana. Akan tetapi berbeda halnya dengan yang tidak megang laptop—salah satunya saya—karena hanya bisa mlongo, tidak jelas.

Sebenarnya buka itu masalahnya—kasihan bagi yang tidak punya laptop—melainkan ada dampak jangka panjang lain, yang saya kita akan mengancam ekosistem kehidupan kampus UNY. UNY satauku ketika pertama datang ke Jogja adalah representasi kampus menengan ke bawah semacam saya, kini nampaknya mulai beranjak dari status itu. Selain itu adalah semakin berkurangnya budaya ngobrol di kalangan Mahasiswa. Mereka lebih asik berselancar dengan teman-teman maya mereka, dari pada menolong temannya yang jatuh terpelese lantai yang habis dipel oleh cleaning servis. Nampaknya, hawa-hawa egoisme mulai menjangkiti mahasiswa UNY. Ada ruang baru yang telah mereka ciptakan di balik semakin menyempitnya ruang-ruang diskusi bagi mahasiswa.